Swasembada Pangan Bukan Lagi Pilihan, Tetapi Keharusan Nasional
Jakarta, AADToday.com - Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, Prof. Dr. Dwi Andreas Santoso, mengatakan bahwa swasembada pangan tidak dapat dilepaskan dari kesejahteraan petani. Menurutnya, instrumen paling nyata untuk meningkatkan produksi pangan nasional adalah penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah.
Dalam dua tahun terakhir, pemerintah telah menaikkan HPP dari Rp4.200 menjadi Rp6.500 per kilogram. Langkah ini, menurutnya, terbukti mampu memicu gairah tanam petani sekaligus menekan laju konversi lahan pertanian ke sektor lain.
“Petani membutuhkan kepastian harga. HPP bukan hanya alat pemerintah untuk membeli gabah, tetapi juga menjadi rujukan bagi penggilingan dan pengepul. Dampaknya langsung terasa di lapangan,” ujar Andreas.
Ia menilai, kebijakan tersebut layak dipertahankan bahkan diperluas agar semakin banyak petani yang merasakan manfaatnya. Dengan adanya kepastian harga, petani tidak lagi ragu untuk menanam padi, karena mereka yakin hasil panen akan memiliki nilai jual yang layak.
Lebih lanjut, Prof. Dr. Dwi Andreas Santoso mengatakan bahwa keberhasilan swasembada pangan tidak hanya ditentukan oleh kebijakan harga, tetapi juga oleh kualitas sumber daya manusia pertanian.
Ia menekankan pentingnya memperkuat kembali sistem penyuluhan pertanian yang dalam beberapa tahun terakhir dinilainya mengalami pelemahan. Pola penyuluhan harus melibatkan perguruan tinggi, petani progresif, serta menghidupkan kembali sekolah lapang yang terbukti efektif di masa lalu.
“Dengan penyuluhan dan pelatihan yang tepat, pengetahuan praktis akan lebih cepat menyebar, produksi meningkat, dan cita-cita swasembada pangan bisa kita wujudkan,” pungkasnya.
Pandangan tersebut mencerminkan bahwa kesejahteraan petani merupakan fondasi utama dalam menjaga keberlanjutan produksi pangan nasional. Ketika petani mendapatkan insentif yang jelas serta akses terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, semangat untuk menanam akan meningkat, sehingga cita-cita swasembada pangan tidak hanya menjadi slogan, melainkan kenyataan yang bisa diraih.
