Surabaya, AAD Today - Aktris Zaskia Adya Mecca mengungkapkan pengalaman menegangkan saat dirinya bersama sembilan Warga Negara Indonesia (WNI) lainnya tertahan di Mesir ketika mengikuti aksi Global March to Gaza. Kejadian yang berlangsung pada pertengahan Juni 2025 ini melibatkan operasi pengawasan ketat dari aparat keamanan Mesir terhadap para peserta aksi solidaritas untuk Gaza.
Berdasarkan keterangan Zaskia melalui unggahan Instagram pada Minggu (15/6) dan Selasa (17/6), rombongan 10 WNI yang terdiri dari Zaskia Adya Mecca, Wanda Hamidah, Ratna Galih, dan tujuh orang lainnya bergabung dalam aksi long march Global March to Gaza. Mereka terpaksa mendaftar sebagai kontingen Malaysia karena terlambat mendaftarkan diri sebagai perwakilan Indonesia.
"Kami mendaftar sebagai peserta secara resmi, di bawah kontingen dari Malaysia. Karena telat daftar, jadi sudah tidak bisa tambah perwakilan utama atas nama Indonesia," jelas Zaskia dalam unggahannya.
Situasi mulai memanas ketika rombongan tiba di Kairo. Zaskia menyebutkan bahwa beberapa peserta dari negara lain telah dideportasi dan banyak aktivis yang ditangkap oleh otoritas setempat. Panitia penyelenggara dilaporkan terus berupaya bernegosiasi dengan pemerintah Mesir untuk kelancaran aksi menuju Gaza, namun upaya tersebut menemui jalan buntu.
Ketegangan mencapai puncaknya pada malam hari ketika rombongan menginap di hotel. Zaskia menggambarkan suasana yang tidak nyaman dengan kehadiran polisi yang langsung mencatat semua paspor dan berbicara serius dengan staf hotel sambil mengawasi para peserta.
"Sampai di hotel malam-malam vibe-nya sudah enggak enak. Ada polisi yang langsung mencatat semua paspor dan berbicara serius sambil melihat kami dengan staf hotel," ungkap istri sutradara Hanung Bramantyo tersebut.
Keesokan harinya, situasi semakin memburuk ketika panitia mengumumkan bahwa kesepakatan dengan pemerintah Mesir tidak tercapai. Para peserta long march dinyatakan ilegal dan polisi memiliki kewenangan untuk menangkap mereka. Sejak pengumuman tersebut, sekitar tiga mobil polisi mendatangi hotel dan melakukan operasi penangkapan terhadap empat peserta dari negara lain.
Rombongan WNI kemudian menghadapi situasi yang semakin sulit dengan dikelilingi oleh sekitar 20 polisi, petugas intelijen, dan mobil tahanan yang bersiaga di depan bus mereka. Zaskia menjelaskan bahwa mereka seolah-olah terkunci dan tidak bisa bergerak bebas.
"Situasi kami lebih sulit, seolah terkunci untuk bergerak karena sekitar 20 polisi, intel, mobil polisi bahkan mobil tahanan siap di depan bus, khusus disiapkan untuk kami ber-10," tutur Zaskia.
Dalam upaya menghindari penangkapan, rombongan berusaha meyakinkan petugas bahwa mereka hanya wisatawan biasa dengan menunjukkan itinerary perjalanan. Meskipun situasi sempat mereda, para petugas intelijen tetap membuntuti setiap aktivitas mereka, bahkan merekam dan menginterogasi staf hotel mengenai keberadaan rombongan.
"HP sempat dicek, semua aplikasi, Instagram dan WhatsApp dibukain," jelas Zaskia mengenai pemeriksaan yang dilakukan petugas terhadap ponsel mereka.
Dalam upaya mengurangi tekanan pengawasan, rombongan memutuskan pindah ke hotel bintang lima dengan harapan mendapat perlakuan yang lebih longgar. Namun langkah tersebut tidak membuahkan hasil karena petugas intelijen tetap mengikuti bus mereka dan melarang berhenti di tempat manapun, bahkan sekedar untuk makan siang.
"Ternyata salah saudara-saudara, si intel ngikut bus kami dan larang mampir ke mana-mana walau sekedar lunch. Ih nebeng ikut, patungan sewa bus dong pak," tulis Zaskia dengan nada jenaka meski dalam situasi tegang.
Zaskia menggambarkan kondisi Kairo saat itu dalam keadaan siaga tinggi dengan jalanan yang sepi, dijaga ketat oleh aparat bersenjata dan tank militer. Rombongan mereka dikawal oleh mobil polisi dan tujuh orang petugas intelijen selama perjalanan.
"Cairo terasa siaga 1, jalanan sepi penuh dengan tentara dan tank," ungkap Zaskia mengenai kondisi ibukota Mesir saat itu.
Menanggapi kejadian tersebut, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Roy Soemirat menegaskan bahwa kehadiran WNI dalam Global March to Gaza merupakan keputusan individu dan bukan bagian dari program pemerintah. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia melalui KBRI Mesir tetap memberikan bantuan kepada para peserta yang mengalami kesulitan.
"Kami sudah memberikan bantuan ketika mereka mengalami masalah dengan akses. Kami bantu agar mereka dapat menginap di hotel sambil menunggu," jelas Roy Soemirat dalam pernyataannya kepada media.
Roy menambahkan bahwa para WNI tersebut akhirnya memutuskan untuk pulang ke Indonesia secara mandiri karena tidak ingin menunggu lebih lama lagi pembukaan blokade menuju Gaza. Pemerintah Indonesia terus memantau situasi dan memberikan bantuan konsular yang diperlukan bagi warga negaranya yang berada di luar negeri.
Kejadian ini menunjukkan kompleksitas situasi geopolitik di Timur Tengah dan risiko yang dihadapi oleh para aktivis yang berupaya memberikan dukungan terhadap Gaza. Pengalaman Zaskia Adya Mecca dan rombongan WNI lainnya menjadi gambaran nyata mengenai tantangan yang dihadapi dalam upaya aksi solidaritas internasional di tengah ketegangan politik regional.
