Supremasi sipil adalah konsep dalam ilmu politik yang berasal dari teori hubungan sipil-militer (Civil Military Relations). Konsep ini menempatkan kekuasaan warga sipil di atas kekuasaan militer, dengan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.
Pengertian dan Dasar Konsep
Paham supremasi sipil bersumber pada sistem demokrasi liberal yang menjunjung tinggi martabat manusia secara individu dengan hak-hak yang sama dan tidak dapat diganggu gugat. Dalam kerangka ini, kontrol sipil menempatkan tanggung jawab utama pengambilan keputusan strategis negara pada pemimpin politik sipil selaku wakil rakyat, bukan pada perwira militer.
Supremasi sipil terbentuk dalam sistem demokrasi ketika pejabat pemerintahan yang dipilih rakyat memperjuangkan kepentingan mereka. Legitimasi pemerintah sipil dalam konsep ini diperoleh melalui pemilihan umum yang demokratis, jujur, dan adil.
Tingkatan Kontrol Sipil
Berdasarkan studi "Routes to Reform: Civil-Military Relations and Democracy in the Third Wave" (2023), kontrol sipil terhadap militer dibagi dalam beberapa tingkatan:
1. Kontrol sipil tinggi: terjadi ketika militer tidak memiliki hak prerogatif atau kekuasaan formal dan tidak menantang otoritas sipil.
2. Kontrol sipil sedang: terjadi ketika otoritas pengambilan keputusan sipil tidak terinstitusionalisasi, tetapi bergantung pada hubungan personal antara sipil dan militer.
3. Kontrol sipil rendah: terjadi ketika militer mendominasi pengambilan keputusan atau pelaksanaan politik suatu negara.
Teori Pengendalian Sipil
Samuel P. Huntington dalam teorinya mengenai hubungan sipil-militer mengidentifikasi dua bentuk utama pengendalian sipil terhadap militer:
1. Pengendalian sipil objektif (objective civilian control): dianggap sebagai metode yang lebih sehat karena memberikan ruang bagi profesionalisme militer tanpa mengesampingkan peran sipil.
2. Pengendalian sipil subjektif (subjective civilian control): dapat memperburuk hubungan sipil-militer karena memperbesar dominasi sipil hingga mengabaikan keberadaan militer, yang dapat menciptakan ketidakstabilan dalam dinamika hubungan sipil-militer.
Penerapan di Amerika Serikat dan Indonesia
Konsep supremasi sipil telah lama menjadi tradisi di Amerika Serikat, sebagaimana dijelaskan Kenneth W. Kemp dan Charles Hudlin dalam jurnal Armed Forces & Society (1992).
Di Indonesia, supremasi sipil memiliki kaitan erat dengan reformasi intelijen. Langkah signifikan dalam reformasi intelijen nasional dimulai pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid tahun 2001, ketika Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) bertransformasi menjadi Badan Intelijen Negara (BIN). Sejak saat itu, BIN bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan DPR, menegaskan posisi institusi intelijen dalam kerangka supremasi sipil.
