Karier Militer Prabowo Subianto

Karier Militer Prabowo Subianto
Letnan Jenderal TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) Nasional Indonesia Bahasa Indonesia: Letjen TNI Prabowo Subianto ketika menjabat sebagai Komandan Sesko TNI.

Prabowo Subianto, Presiden Republik Indonesia ke-8, memulai karier militernya pada tahun 1974 sebagai Letnan Dua Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat setelah lulus dari Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) Darat di Magelang. Selama kariernya di militer, Prabowo dikenal sebagai salah satu jenderal terkemuka di era Orde Baru dan menjadi tokoh yang menimbulkan kontroversi dalam sejarah Indonesia.

Masa di Kopassus

Dari tahun 1976 hingga 1985, Prabowo bertugas di Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha), pasukan khusus Angkatan Darat. Salah satu penugasan awalnya adalah sebagai komandan pleton pada Grup I/Para Komando yang menjadi bagian dari pasukan operasi Tim Nanggala di Timor Timur. Pada usia 26 tahun, Prabowo termasuk komandan pleton termuda dalam operasi tersebut.

Prabowo memimpin misi penangkapan terhadap Nicolau dos Reis Lobato, pemimpin Fretilin yang menjabat sebagai Perdana Menteri saat Operasi Seroja. Dengan bantuan Antonio Lobato, adik Nicolau sendiri, kompi Prabowo menemukan Lobato di Maubisse, sebuah kota kecil 50 kilometer di selatan Dili. Lobato tewas tertembak di perut saat bertempur di Lembah Mindelo pada 31 Desember 1978, menandai berakhirnya perlawanan terbuka Fretilin terhadap invasi militer Indonesia.

Pada tahun 1983, Prabowo menjabat sebagai wakil komandan pada Detasemen Khusus 81 (Penanggulangan Teror) di Kopassandha.

Jabatan Komando

Pada tahun 1985, Prabowo diangkat sebagai wakil komandan Batalyon Infanteri Lintas Udara 328 (Yonif Para Raider 328/Dirgahayu), pasukan para raider di Kostrad. Setelah menyelesaikan pelatihan Special Forces Officer Course di Fort Benning, ia menjadi komandan batalyon tersebut pada tahun 1987 selama tiga tahun.

Pada 1991, dengan pangkat letnan kolonel, Prabowo menjabat sebagai kepala staf Brigade Infanteri Lintas Udara 17 (Brigif Para Raider 17/Kujang I) yang bermarkas di Cijantung. Dalam jabatan ini, ia terlibat dalam operasi pemburuan dan penangkapan Xanana Gusm?o, salah satu tokoh pemimpin gerilyawan Fretilin.

Pada tahun 1993, Prabowo kembali ke pasukan khusus yang kini dinamai Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Ia diangkat menjadi komandan Grup 3/Sandhi Yudha, salah satu komando kontra-insurjensi Kopassus, lalu menjabat sebagai wakil komandan dan komandan komando di bawah kepemimpinan Brigadir Jenderal Agum Gumelar dan Brigadir Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo.

Komandan Jenderal Kopassus

Prabowo diangkat sebagai komandan jenderal Kopassus dengan pangkat mayor jenderal pada Desember 1995. Salah satu tugas pertamanya adalah memimpin operasi pembebasan sandera Mapenduma. Operasi ini berhasil menyelamatkan sepuluh dari dua belas peneliti ekspedisi Lorentz 95 yang diculik oleh gerilyawan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Meskipun diwarnai insiden penembakan komandan Sat-81 oleh anak buahnya sendiri, operasi ini dianggap berhasil menyelamatkan para peneliti berkebangsaan Indonesia, Inggris, Belanda, dan Jerman.

Prestasi lain di bawah kepemimpinannya terjadi pada 26 April 1997, ketika tim pendaki Indonesia yang terdiri dari anggota Kopassus, Wanadri, FPTI, dan Mapala UI berhasil menaklukkan puncak Gunung Everest dan mengibarkan bendera Merah Putih. Misi ini diprakarsai dan didukung langsung oleh Prabowo.

Panglima Kostrad

Pada 20 Maret 1998, Prabowo diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), jabatan yang pernah dijabat oleh mertuanya, Presiden Soeharto. Pengangkatan ini terjadi hanya sepuluh hari setelah Soeharto terpilih untuk periode kelima sebagai presiden.

Sebagai panglima Kostrad, Prabowo membawahi sekitar sebelas ribu pasukan cadangan ABRI. Selama kerusuhan Mei 1998, ia meminta izin kepada Panglima ABRI Jenderal Wiranto untuk menggerakkan pasukan cadangannya dari luar Jakarta guna membantu meredam kerusuhan. Meskipun permintaan ini ditolak oleh Wiranto, Prabowo diduga menerbangkan ratusan personel yang telah dilatih oleh unit-unit Kopassus dari Timor Timur ke Yogyakarta, kemudian ke Jakarta dengan kereta api.

Prabowo juga berperan dalam membujuk Amien Rais, salah satu tokoh pemimpin gerakan reformasi, untuk membatalkan rencana doa bersama di kawasan Monas dengan alasan keamanan. Pada 14 Mei, ia bertemu dengan beberapa tokoh reformasi seperti Adnan Buyung Nasution dan Bambang Widjojanto untuk mendiskusikan situasi yang tengah genting.

Pemberhentian dari Dinas Militer

Setelah Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998 dan B.J. Habibie dilantik sebagai penggantinya, Prabowo menemui Habibie dan meminta untuk ditunjuk sebagai Panglima ABRI menggantikan Wiranto. Alih-alih mengabulkan permintaan tersebut, Habibie justru memberhentikan Prabowo dari jabatannya sebagai panglima Kostrad.

Pada 14 Juli 1998, Panglima ABRI membentuk Dewan Kehormatan Perwira yang diketuai oleh Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo untuk memeriksa Prabowo dalam tujuh butir tuduhan. Dewan ini memutuskan Prabowo bersalah melakukan tindak pidana "ketidakpatuhan", "memerintahkan perampasan kemerdekaan orang lain", dan "penculikan". Prabowo akhirnya diberhentikan dari dinas keprajuritan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 62/ABRI/1998 yang ditandatangani oleh Presiden B.J. Habibie pada 20 November 1998.

Status pemberhentian Prabowo menimbulkan kontroversi pada pemilihan umum 2009. Politisi Gerindra Fadli Zon menegaskan bahwa Prabowo "diberhentikan dengan hormat" dan tetap mendapatkan hak pensiunnya dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal.

Gelar Jenderal Kehormatan

Pada 28 Februari 2024, Presiden Joko Widodo memberikan gelar Jenderal kehormatan kepada Prabowo. Menurut Presiden Jokowi, pemberian gelar ini didasarkan pada kontribusi besar Prabowo bagi negara dan penerimaan Bintang Yudha Dharma sebelumnya. Pemberian gelar tersebut telah melalui verifikasi dari Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, dengan usulan kenaikan pangkat berasal dari Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto.

Pemberian gelar Jenderal kehormatan ini menimbulkan berbagai tanggapan dari masyarakat. Beberapa pihak melihatnya sebagai kejadian unik yang menunjukkan keakraban antara Jokowi dan Prabowo yang sebelumnya menjadi rivalnya pada pilpres 2014 dan 2019. Namun, kenaikan pangkat ini juga mendapat kritik dari beberapa peneliti, yang membandingkannya dengan kasus SBY atau Luhut Binsar Pandjaitan, mengingat Prabowo pernah diperiksa karena dugaan pelanggaran HAM meskipun diberhentikan "dengan hormat". 

Ikuti AAD Today Online di GoogleNews

Berita Lainnya

Index