Festival Film Indonesia (FFI) atau Piala Citra adalah festival film nasional Indonesia yang dipelopori oleh dua tokoh perfilman yaitu Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik. Festival ini pertama kali diselenggarakan pada tahun 1955, berlanjut pada tahun 1960 dan 1967 dengan nama Pekan Apresiasi Film Nasional, kemudian sejak 1973 secara resmi dinamakan Festival Film Indonesia dan diselenggarakan secara berkala. FFI memberikan penghargaan "Piala Citra" untuk film layar lebar dan "Piala Vidia" untuk film televisi yang diberikan sejak tahun 1986 hingga 2014. Festival Film Indonesia Penghargaan terkini: Festival Film Indonesia 2024 Deskripsi Prestasi dalam perfilman Indonesia Negara Indonesia Dipersembahkan oleh Diberikan perdana 1955 Situs web festivalfilm.id
Sejarah
Awal Pembentukan
Pada tahun 1955, industri perfilman nasional Indonesia menghadapi situasi yang cukup mengkhawatirkan. Film Indonesia menghadapi persaingan berat dari film Malaya (kini Malaysia), dan kemudian film India yang menarik banyak penonton kelas menengah ke bawah. Sementara itu, bioskop-bioskop kelas satu menolak memutar film-film nasional dan lebih memprioritaskan film-film dari Amerika Serikat. Dalam kondisi yang tidak menguntungkan tersebut, Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik mempelopori diselenggarakannya Festival Film Indonesia.
Festival Film Indonesia pertama digelar di Jakarta pada 30 Maret?5 April 1955 saat masa pemerintahan Wali Kota Jakarta Sudiro dan Menteri PPK Prof. Dr. Bahder Djohan. Acara tersebut bertempat di Rumah Dinas Wali Kota Jakarta Raya, Jl. Taman Suropati No. 7, Menteng, Jakarta Pusat. Inisiatif penyelenggaraan FFI muncul setelah kedua pioner perfilman nasional tersebut menghadiri pembentukan Persatuan Produser Film Asia (Federation of Motion Picture Producers in Asia/FPA) di Manila, Filipina, yang mengharuskan Indonesia menyelenggarakan festival film nasional dimana pemenangnya akan berkompetisi di tingkat FPA.
Festival ini dimaksudkan untuk menarik perhatian masyarakat yang cenderung skeptis terhadap produksi film lokal, dengan tujuan mengubah stereotip negatif dan menunjukkan bahwa film Indonesia memiliki kualitas yang tidak kalah dengan film asing. Djamaluddin Malik memposisikan festival film sebagai peristiwa budaya untuk mengevaluasi film produksi dalam negeri selama satu tahun, dan sebagai forum pertemuan antara pembuat dan penonton film, sekaligus ajang penilaian mengenai kualitas teknis dan penyajian karya film.
Setelah penyelenggaraan festival film tahun 1955, tidak ada festival pada tahun berikutnya. Setelah vakum selama tiga tahun (1956-1959), festival film kembali diselenggarakan pada tahun 1960 di Jakarta, tanggal 21-25 Februari, dengan film terbaik diraih oleh "Turang" yang disutradarai Bachtiar Siagian yang juga dinobatkan sebagai sutradara terbaik. Setelah itu, festival kembali vakum hingga bulan Agustus 1967 saat diadakan Pekan Apresiasi Film Nasional sebagai nama alternatif dari FFI ketiga.
Penyelenggaraan FFI pada tahun 1955, 1960, dan 1967 sering disebut oleh pemerhati film sebagai Pra-FFI. Antara tahun 1970 sampai 1975 terdapat festival terbatas berupa Pemilihan Aktor/Aktris Terbaik yang diselenggarakan oleh PWI Jaya Seksi Film.
Era Yayasan Film Indonesia dan Dewan Film Nasional
Yayasan Film Indonesia (YFI) dengan dukungan Departemen Penerangan Republik Indonesia menyelenggarakan festival film pada tahun 1973, yang secara resmi disebut Festival Film Indonesia. Film "Perkawinan" karya Wim Umboh dinobatkan sebagai film terbaik sekaligus meraih piala untuk sutradara terbaik. Pemilihan Aktor/Aktris Terbaik versi wartawan akhirnya dihentikan pada tahun 1975 dan terintegrasi dengan YFI.
Pada sisi lain, Departemen Penerangan memprakarsai dibentuknya Dewan Film Nasional. Melalui lembaga ini, pelaksanaan FFI tahun 1981 yang dilakukan YFI dilebur, dan sejak tahun 1982 penyelenggaraan FFI sepenuhnya dikelola oleh Dewan Film Nasional.
Sejak saat itu, penyelenggaraan FFI berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, diadakan di Medan tahun 1983, Yogyakarta tahun berikutnya, Bandung tahun 1985, dan pada tahun 1986 kegiatan dipusatkan di Jakarta dengan puncak acara di Denpasar. Penyelenggaraan FFI di berbagai daerah dimaksudkan untuk mendekatkan para artis film dengan masyarakat penontonnya.
Masa Vakum Perfilman Indonesia
Pada tahun 1980-an, Festival Film Indonesia masih diadakan setiap tahun. Namun perfilman Indonesia mengalami kemunduran signifikan pada tahun 1990-an dengan produksi film yang banyak terjebak dalam tema-tema dewasa. Film Indonesia kehilangan posisinya di negeri sendiri, tergeser oleh film-film dari Hollywood dan Hong Kong.
Pada periode ini, perfilman Indonesia mengalami "mati suri" dengan produksi yang hanya mencapai 2-3 film per tahun. Kemunduran industri film ini juga dipengaruhi oleh pesatnya perkembangan televisi swasta dan munculnya teknologi VCD, LD, dan DVD yang menjadi pesaing baru. Kondisi ini menyebabkan Festival Film Indonesia 1992 menjadi penyelenggaraan terakhir sebelum mengalami masa vakum panjang.
Sementara itu, sejak tahun 1992, Piala Vidia diberikan terpisah dari FFI, dan diadakan dalam FSI (Festival Sinetron Indonesia). Kelesuan industri film membuat industri sinetron berkembang pesat. FSI menjadi ajang pengganti FFI yang prestisius dan diadakan setiap tahun dengan meriah hingga terhenti pada tahun 1999.
Kebangkitan Festival Film Indonesia
Era awal 2000-an dianggap sebagai era kebangkitan perfilman nasional Indonesia. Kebangkitan ini ditandai dengan pertumbuhan jumlah produksi film yang menggembirakan. Hal inilah yang kemudian membuat Festival Film Indonesia kembali diselenggarakan pada tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun. Penyelenggaraan FFI 2004 sempat diwarnai keluhan beberapa penerima penghargaan mengenai acara yang tidak ditayangkan di televisi. Piala Vidia kembali diadakan bersamaan dengan FFI pada tahun 2004, kemudian terhenti tahun 2007 hingga 2010, dan kembali diadakan pada FFI tahun 2011 hingga 2014.
Festival Film Indonesia 2006 mengundang kontroversi ketika film "Ekskul" dinyatakan sebagai Film Terbaik. Penobatan ini mendapat protes dari Masyarakat Film Indonesia (MFI) yang terdiri dari sejumlah insan perfilman di antaranya sutradara Riri Riza dan Mira Lesmana. Mereka beserta 22 peraih Piala Citra tahun 2004-2006 memprotes karena menganggap film tersebut sarat dengan unsur plagiat. Akibatnya, kemenangan film ini dibatalkan berdasarkan Surat Keputusan (SK) bernomor 06/KEP/BP2N/2007 yang ditandatangani oleh ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), Deddy Mizwar.
Perbaikan Festival Film Indonesia terus dilakukan pasca kontroversi tersebut, termasuk dalam bidang penjurian dan pelaksanaan FFI. Perbaikan dilakukan untuk meningkatkan mutu dan objektivitas penjurian. Penyelenggara juga berganti-ganti, mulai dari Komite Festival Film Indonesia yang menggantikan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional sejak 2009 hingga berdirinya Badan Perfilman Indonesia (BPI) pada tahun 2014.
Sistem Penjurian dan Penilaian
Kriteria yang harus dipenuhi untuk menentukan film terbaik dalam Festival Film Indonesia mencakup skenario, penyuntingan, penyutradaraan, dan sinematografi. Pada tahun-tahun awal, dewan juri disodori semua film peserta dan langsung menentukan pemenangnya. Sistem penjurian ini dianggap tidak efisien karena dalam waktu relatif singkat juri harus melihat puluhan film dan harus menilai unsur-unsur film yang menonjol.
Sistem penjurian mengalami perubahan sejak tahun 1979, dengan membentuk dewan penilai awal yang terdiri atas belasan wartawan film ibu kota. Mereka mengusulkan beberapa film unggulan kepada dewan juri akhir. Tahun berikutnya, keterlibatan wartawan ditiadakan dan sistem penjurian sebelumnya diberlakukan kembali. Pada tahun 1978, sistem penjurian lebih mendasarkan penilaian pada sistem angka. Dalam Festival Film Indonesia 1979, dewan juri sendiri yang mengumumkan nominasi seluruh peserta festival.
Karena dalam beberapa festival juri tidak menentukan film terbaik, hal tersebut menimbulkan ketidakpuasan di kalangan film, sehingga akhirnya diputuskan bahwa dalam setiap FFI harus ada film terbaik. Untuk itu dibentuklah kelompok penilai awal bernama Komite Pengaju Unggulan (KPU) dengan 18 anggota dari semua unsur film. KPU hanya berusia satu tahun, selanjutnya diganti dengan Komite Seleksi beranggotakan sembilan orang yang bertugas memilih 11 sampai 19 film terbaik berkualitas.
Sistem penilaian dua tahap dalam FFI mengadopsi sistem Academy Awards. Penilaian tahap pertama terhadap film peserta yang dilakukan Komite Seleksi ditekankan pada unsur-unsur teknis film. Penilaian terhadap bobot budaya dilakukan pada tahap berikutnya oleh dewan juri.
Mulai tahun 2014, FFI dilaksanakan oleh Badan Perfilman Indonesia (BPI) dengan sistem penjurian yang diubah total. Kemala Atmojo, yang membawahi bidang Festival Film Dalam negeri (kemudian menjadi Ketua BPI), mengubah sistem penjurian FFI. Sejak 1955, FFI selalu dinilai oleh panel Dewan Juri antara 7 sampai 9 orang, namun mulai 2014 diubah menjadi 100 orang. Sistem penjuriannya dilakukan dalam dua tahap dan melibatkan akuntan publik.
Pada tahap pertama, dibentuk kelompok dewan juri sesuai dengan keahlian masing-masing bidang yang hanya menilai bidang tertentu saja. Hasil penilaian juri tahap awal ini dikirim langsung ke akuntan publik untuk direkapitulasi, yang kemudian menghasilkan nominasi untuk setiap kategori.
Selanjutnya, nominasi masing-masing kategori dikirim ke semua dewan juri untuk penilaian tahap kedua. Pada tahap ini seluruh dewan juri menilai semua kategori yang sudah masuk dalam nominasi. Hasil penilaian tahap kedua juga dikirim langsung ke akuntan publik untuk direkapitulasi dan hasilnya diserahkan kepada pembaca pemenang pada saat Malam Puncak.
Pada tahun 2022, komite Festival Film Indonesia membentuk Akademi Citra, yang beranggotakan para peraih "Piala Citra" minimal satu kali, masih terlibat aktif dalam produksi dan kegiatan perfilman, serta diutamakan yang sudah terdaftar pada salah satu asosiasi profesi perfilman. Anggota Akademi Citra FFI berperan dalam menentukan nominasi sesuai kategori yang pernah diraih. Sistem ini mengadopsi pendekatan di mana tiap profesi menilai sesuai dengan divisinya masing-masing, sebagai respons terhadap masukan agar FFI melibatkan peran asosiasi-asosiasi profesi dalam produksi film.
Piala
"Piala Citra" diberikan kepada pemenang penghargaan. Piala Citra yang dipergunakan hingga FFI 2007 merupakan hasil rancangan dari seniman patung Gregorius Sidharta. Ketika FFI yang semula diselenggarakan Yayasan Film Indonesia (YFI) diambil alih oleh pemerintah tahun 1979, Piala Citra disahkan oleh Menteri Penerangan Republik Indonesia, Ali Murtopo.
Nama "Citra" yang berarti bayangan atau image, awalnya adalah sebuah sajak karya Usmar Ismail yang kemudian dijadikan karya lagu oleh Cornel Simanjuntak. Usmar Ismail juga menjadikannya sebagai judul sebuah film. Dalam tradisi FFI, "Citra" kemudian dijadikan nama piala sebagai simbol supremasi prestasi tertinggi untuk bidang perfilman.
Pada FFI 2008 mulai digunakan Piala Citra bentuk baru, hasil rancangan tim seniman seni rupa dan seni patung yang terdiri dari Heru Sudjarwo, S.Sn., M.A. (Koordinator), Prof. Drs. Yusuf Affendi MA, Drs. H. Dan Hisman Kartakusumah, Indros Sungkowo, dan Bambang Noorcahyo, S.Sn. Rancangan baru ini dimaksudkan sebagai simbol semangat baru penyelenggaraan FFI.
Namun, pada penyelenggaraan FFI 2014 piala citra kembali diubah ke bentuk awalnya yaitu rancangan Gregorius Sidharta dengan sedikit modifikasi oleh Dolorosa Sinaga, salah satu anak didik Sidharta di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Hal ini merupakan simbol kembalinya penyelenggaraan FFI kepada semangat awal.
