Makam Raden Sawunggaling, juga dikenal sebagai Makam Joko Berek, merupakan situs cagar budaya yang terletak di Kelurahan Lidah Wetan, Kecamatan Lakarsantri, Surabaya, Jawa Timur. Situs ini ditetapkan sebagai cagar budaya Kota Surabaya berdasarkan SK Walikota No.188.45/270/436.1.2/2013 dan diresmikan pada 15 Juli 2013 oleh Wakil Walikota Surabaya, Whisnu Sakti Buana.
Sejarah dan Deskripsi
Kompleks makam Raden Sawunggaling ditemukan oleh warga pada tahun 1901. Di lokasi ini terdapat lima makam utama, yaitu:
1. Makam Raden Sawunggaling
2. Makam Dewi Sangkrah (ibu Sawunggaling)
3. Makam Raden Ayu Pandan Sari (rekan Sawunggaling saat membuka lahan di Surabaya)
4. Makam Mbah Buyut Suruh (pengasuh Dewi Sangkrah)
5. Makam Raden Karyosentono (kusir Sawunggaling yang memiliki garis keturunan dengan Sunan Giri)
Secara fisik, kelima makam tersebut dilengkapi dengan nama yang terukir pada kayu jati, sementara nisan-nisannya dibungkus dengan kain putih.
Tokoh Raden Sawunggaling
Menurut tradisi lisan yang berkembang, Raden Sawunggaling adalah putra dari Adipati Jayengrono dan Dewi Sangkrah. Nama kecilnya adalah Joko Berek. Ia dikenal sebagai tokoh yang berperan dalam membuka lahan (babat alas) di wilayah barat Surabaya pada sekitar abad ke-18 hingga awal abad ke-19.
Dalam narasi yang dituturkan secara turun-temurun, Joko Berek dibesarkan oleh ibunya di Kampung Lidah Donowati (sekarang Lidah Wetan) tanpa kehadiran ayahnya yang bertugas sebagai Adipati di Surabaya. Saat dewasa, ia menemui ayahnya dengan membawa bukti berupa Cinde Puspita, pemberian Jayengrono kepada Dewi Sangkrah.
Setelah memenangkan sebuah sayembara memanah umbul-umbul, Joko Berek kemudian diangkat menjadi pengganti ayahnya dengan gelar Raden Mas Ngabehi Sawunggaling Kulmosostronagoro. Ia kemudian dikenal melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda di wilayah Surabaya.
Meskipun demikian, belum ditemukan catatan resmi mengenai tanggal kelahiran dan kematian Raden Sawunggaling, sehingga eksistensi historisnya masih menjadi bahan perdebatan di kalangan sejarawan.
Fungsi dan Signifikansi Kultural
Makam Raden Sawunggaling tidak hanya berfungsi sebagai tempat pemakaman, tetapi juga menjadi pusat kegiatan budaya dan spiritual bagi masyarakat Surabaya. Beberapa kegiatan rutin yang diselenggarakan di kompleks makam ini antara lain:
1. Ziarah rutin pada Kamis malam Jumat oleh pengunjung dari berbagai daerah
2. Doa bersama dan gelar budaya tahunan pada bulan Suro (dalam kalender Jawa)
3. Istighosah bulanan setiap Jumat Legi sebagai upaya melestarikan budaya
Sosok Raden Sawunggaling sendiri telah menjadi simbol keberanian dan kejujuran bagi masyarakat Surabaya. Namanya diabadikan sebagai nama jalan, gedung, dan kelurahan di Kota Surabaya.
Kajian Kontemporer
Keberadaan Raden Sawunggaling sebagai tokoh historis atau legendaris masih menjadi bahan kajian. Upaya untuk mengungkap kebenaran sejarah mengenai sosok ini dilakukan melalui berbagai forum, seperti Sarasehan Budaya yang diselenggarakan oleh Paguyuban Raden Sawunggaling berkolaborasi dengan Begandring Soerabaia dengan tema "Misteri Perjuangan Raden Sawunggaling dan Bubarnya VOC" pada tahun 2024.
Terlepas dari perdebatan sejarah, Makam Raden Sawunggaling tetap menjadi salah satu warisan budaya penting bagi Kota Surabaya, yang terus dipelihara dan dilestarikan oleh masyarakat setempat serta pemerintah kota.
