Asrama Indonesia Merdeka merupakan institusi pendidikan politik yang didirikan pada Oktober 1944 di Jakarta sebagai bagian dari persiapan menjelang kemerdekaan Indonesia. Berlokasi di Jalan Kebon Sirih No. 8 Jakarta Pusat, asrama ini menjadi tempat pengkaderan calon pemimpin Indonesia yang dibentuk atas prakarsa Laksamana Muda Tadashi Maeda, kepala Bunkafu dalam Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (Kaigun).
Sejarah Pendirian
Pendirian Asrama Indonesia Merdeka terjadi setelah Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso mengumumkan pada 7 September 1944 bahwa Indonesia akan diberi kemerdekaan "kelak di kemudian hari" – pernyataan yang kemudian dikenal sebagai "Janji Koiso". Sebagai implementasi nyata atas janji tersebut, Laksamana Muda Tadashi Maeda mengadakan pertemuan dengan beberapa pejabat Kaigun Bukanfu termasuk Tomegoro Yoshizumi, Shigetada Nishijima, dan Sato Nobuhide.
Dalam pertemuan tersebut, Maeda menyatakan, "Jepang telah berjanji memerdekakan Indonesia. Tidak lama lagi itu akan terjadi. Untuk itu generasi penerus yang akan menjadi inti dari bangsa ini setelah merdeka perlu dipersiapkan."
Asrama ini diberi nama oleh Ahmad Soebardjo, mantan wartawan yang ketika itu menjabat sebagai kepala departemen penelitian Kaigun Bukanfu. Nama "Indonesia Merdeka" terinspirasi dari majalah bulanan Perhimpunan Indonesia, perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda yang pernah dipimpin redaksinya oleh Soebardjo sendiri.
Struktur dan Pengajaran
Asrama Indonesia Merdeka dikelola dengan kepemimpinan yang dipercayakan kepada tokoh pergerakan nasional. Atas rekomendasi Soebardjo, Wikana ditunjuk sebagai kepala sekolah. Pengawasan asrama dilakukan oleh Yoshizumi Tomegoro dan Nishijima Shigetada dari pihak Jepang.
Para pengajar di Asrama Indonesia Merdeka merupakan tokoh-tokoh terkemuka pergerakan nasional Indonesia:
- Soekarno mengajar sejarah gerakan nasionalis
- Mohammad Hatta mengajar gerakan koperasi
- Ahmad Soebardjo mengajar hukum internasional
- Sutan Sjahrir mengajar prinsip-prinsip nasionalisme dan demokrasi
- Iwa Kusuma Sumantri mengajar tentang perburuhan
- Wikana sebagai kepala sekolah membawakan materi gerakan pemuda
- Yoshizumi dan Nishijima bertanggung jawab atas ceramah tentang perang gerilya dan masalah pertanian
Peserta dan Lulusan
Peserta kaderisasi gelombang pertama di Asrama Indonesia Merdeka berjumlah sekitar 30 orang dan berhasil menyelesaikan pendidikan pada April 1945. Gelombang kedua yang dimulai pada Mei 1945 berjumlah sekitar 80 orang, namun tidak sempat menyelesaikan kaderisasinya karena Kekaisaran Jepang kalah dalam Perang Dunia II.
Kontroversi dan Perlindungan
Keberadaan Asrama Indonesia Merdeka menimbulkan kontroversi di kalangan Angkatan Bersenjata Kekaisaran Jepang, terutama dari Angkatan Darat Kekaisaran Jepang (Rikugun). Meskipun mendapat tentangan, Maeda tetap memberikan perlindungan kepada para tokoh pergerakan nasional untuk mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta kaderisasi di asrama tersebut. Menurut sejarawan George McTurnan Kahin, "Angkatan Perang Jepang menentang pendirian sekolah Asrama Indonesia Merdeka, tetapi tidak berhasil menutupnya."
Peran dalam Proklamasi Kemerdekaan
Asrama Indonesia Merdeka memiliki peran penting menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pada 15 Agustus 1945, seluruh siswa termasuk Wikana turut memimpin rombongan pemuda untuk mendesak Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pada 16 Agustus 1945, sementara menanti kedatangan Soekarno-Hatta dari Rengasdengklok, aktivitas di Asrama Indonesia Merdeka dilaporkan sangat sibuk dengan persiapan proklamasi, termasuk merakit peledak, menyiapkan senjata, dan mengatur pengamanan untuk proklamasi kemerdekaan.
Signifikansi Sejarah
Asrama Indonesia Merdeka merupakan saksi penting dalam perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Selain menjadi tempat pengkaderan calon pemimpin Indonesia, asrama ini juga menjadi tempat berlangsungnya berbagai pertemuan bersejarah dan penyusunan strategi taktis menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
