Raden Sawunggaling, yang semasa kecil dikenal dengan nama Joko Berek, merupakan tokoh sejarah yang menjabat sebagai Adipati Surabaya pada masa penjajahan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) di Nusantara. Tokoh ini memiliki peran penting dalam sejarah perlawanan terhadap kolonialisme dan pengembangan wilayah Surabaya, khususnya di bagian barat.
Asal-usul dan Masa Kecil
Joko Berek merupakan putra dari Adipati Jayengrono III dan Dewi Sangkrah. Sebelum kelahirannya, Jayengrono yang bertugas sebagai Adipati Surabaya berpesan kepada Dewi Sangkrah yang tinggal di kampung Lidah Donowati (sekarang Lidah Wetan) untuk menamai anak laki-laki mereka dengan nama Joko Berek. Selama masa pertumbuhannya, Joko Berek tinggal bersama ibunya dan Mbah Buyut Suruh yang berperan sebagai pengasuh Dewi Sangkrah.
Perjalanan Menuju Pengakuan
Saat beranjak dewasa, Joko Berek menanyakan tentang ayahnya kepada ibunya. Dewi Sangkrah kemudian memberitahukan bahwa ayahnya adalah Adipati Surabaya dan memberikan Cinde Puspita, pemberian dari Jayengrono, sebagai bukti identitas. Dengan membawa ayam jago kesayangannya yang bernama Bagong dan Cinde Puspita tersebut, Joko Berek memulai perjalanan untuk menemui ayahnya.
Dalam perjalanannya, Joko Berek menghadapi berbagai ujian. Ia bertemu dengan saudara tirinya, Sawungrana dan Sawungsari, yang tidak mengakuinya sebagai putra Jayengrono. Untuk membuktikan identitasnya, Joko Berek ditantang dalam pertarungan sabung ayam melawan saudara tirinya dan berhasil memenangkannya. Selanjutnya, ia masih harus menjalani ujian berupa merawat ratusan kuda sebagai syarat pengakuan dari Jayengrono III.
Pengangkatan sebagai Adipati
Ketika Adipati Jayengrono III memasuki usia lanjut, muncul pertanyaan tentang siapa yang akan menggantikannya. Atas saran Adipati Cakraningrat dari Madura, diadakan sayembara memanah umbul-umbul yang terbuka untuk umum, dengan pemenangnya akan diangkat menjadi Adipati Surabaya berikutnya.
Pada waktu yang bersamaan, VOC (Belanda) juga mengadakan sayembara serupa dengan tujuan mengubah bentuk pemerintahan Surabaya dan mendapatkan tenaga tambahan dari pribumi. Sayembara tersebut berupa memanah bendera yang berada di belakang kincir angin.
Banyak kesatria, termasuk Sawungrana dan Sawungsari, mengikuti sayembara tersebut namun tidak ada yang berhasil. Joko Berek kemudian mengikuti sayembara dengan taruhan nyawa. Pada percobaan pertama, ia berhasil memanah bendera tersebut. Namun, VOC tidak langsung memberikan jabatan kepadanya melainkan memberi syarat tambahan berupa babat alas (membuka lahan) di wilayah yang sekarang menjadi Kecamatan Benowo, Kecamatan Margomulyo, dan sekitarnya.
Setelah berhasil menyelesaikan tugas babat alas tersebut, Joko Berek akhirnya diangkat menjadi Adipati dengan gelar Raden Mas Ngabehi Sawunggaling Kulmosostronagoro, atau lebih dikenal sebagai Raden Sawunggaling.
Konflik dengan VOC
Saat pesta perayaan pengangkatannya, VOC bersekongkol dengan Sawungrana dan Sawungsari untuk mencelakai Sawunggaling dengan memberikan minuman beracun. Namun, rencana tersebut diketahui oleh Adipati Cakraningrat yang kemudian menumpahkan minuman tersebut. Peristiwa ini menyebabkan Sawunggaling menjadi benci terhadap VOC dan bertekad untuk mengusir mereka dari Nusantara.
Sawunggaling kemudian melakukan perjalanan dari Surabaya hingga Batavia untuk memberantas VOC. Dalam usahanya memperluas wilayah kekuasaan, ia sempat berhadapan dengan Raden Ayu Pandan Sari, penguasa hutan, yang kemudian menjadi temannya dalam pembukaan lahan di Surabaya bagian barat.
Peninggalan dan Pengakuan
Makam Raden Sawunggaling terletak di Jalan Lidah Wetan Tengah, Surabaya, dan telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya berdasarkan SK Walikota No.188.45/270/436.1.2/2013. Peresmian sebagai cagar budaya dilakukan oleh Wakil Walikota Surabaya, Whisnu Sakti Buana, pada 15 Juli 2013.
Di kompleks makam tersebut terdapat lima makam, yaitu:
1. Makam Raden Sawunggaling
2. Makam Dewi Sangkrah (ibu Sawunggaling)
3. Makam Raden Ayu Pandan Sari
4. Makam Mbah Buyut Suruh (pengasuh Dewi Sangkrah)
5. Makam Raden Karyosentono (kusir Sawunggaling yang masih memiliki garis keturunan dengan Sunan Giri)
Makam ini sering dikunjungi peziarah, terutama pada malam Jumat. Setiap tahun pada bulan Suro (dalam kalender Jawa) diadakan doa bersama dan gelar budaya. Selain itu, setiap bulan pada Jumat Legi juga dilaksanakan istighosah bersama sebagai upaya melestarikan budaya.
Paguyuban Makam Raden Sawunggaling memiliki jargon "Ojo ngaku arek Suroboyo nek gak ngerti Sawunggaling" (Jangan mengaku orang Surabaya jika tidak mengenal Sawunggaling) sebagai upaya untuk memperkenalkan sejarah Sawunggaling kepada generasi muda Surabaya.
Meski menjadi tokoh penting dalam sejarah Surabaya, hingga saat ini tanggal lahir dan wafat Raden Sawunggaling belum diketahui secara pasti karena belum ditemukan catatan resmi mengenai hal tersebut.
