Benteng Putri Hijau merupakan situs arkeologi peninggalan Kerajaan Aru yang terletak di Desa Deli Tua, Kecamatan Namorambe, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Situs ini ditetapkan sebagai cagar budaya tingkat provinsi pada tahun 2019.
Lokasi dan Dimensi
Benteng Putri Hijau berada di kawasan Deli Tua, dengan area situs mencakup wilayah seluas 1.500 × 400 meter. Lokasi benteng strategis secara geografis, dibangun memanfaatkan topografi yang berdekatan dengan sungai dan kontur tanah setempat.
Karakteristik Fisik
Konstruksi benteng terbuat dari tanah dengan karakteristik sebagai berikut:
- Lebar dinding tanah sekitar 4-5 meter
- Tinggi dinding bagian dalam mencapai 2 meter
- Tinggi dinding bagian luar mencapai 5 meter
- Memiliki parit pertahanan di sebelah tenggara
Struktur pertahanan ini menunjukkan pengetahuan arsitektur militer yang cukup maju pada zamannya, dengan memanfaatkan elemen alam sebagai bagian dari sistem pertahanan.
Signifikansi Arkeologis dan Historis
Penelitian arkeologis menunjukkan bahwa situs Benteng Putri Hijau telah dimanfaatkan sejak abad ke-8 hingga abad ke-17 Masehi. Berdasarkan temuan artefak dan analisis yang dilakukan pada tahun 2009, dapat disimpulkan bahwa benteng ini dibangun antara abad ke-13 hingga abad ke-17, bertepatan dengan masa kejayaan Kerajaan Aru.
Benteng ini diidentifikasi sebagai pusat kota Kerajaan Aru yang berdiri dari abad ke-13 hingga abad ke-16. Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan (Pussis-Unimed) melalui analisis tekstual menyebutkan bahwa Kerajaan Aru berpusat di Deli Tua, yang diperkuat dengan keberadaan Benteng Putri Hijau.
Di situs ini ditemukan berbagai artefak penting, antara lain:
- Fragmen keramik dari Tiongkok
- Pecahan tembikar
- Mata uang logam dirham Aceh
- Berbagai artefak lain yang mengindikasikan aktivitas manusia pada masa lampau
Temuan arkeologis ini memberikan bukti penting mengenai hubungan perdagangan dan politik Kerajaan Aru dengan berbagai wilayah, termasuk Tiongkok dan Kesultanan Aceh.
Konteks Sejarah dan Konflik
Benteng Putri Hijau memiliki peran sentral dalam konflik antara Kerajaan Aru dan Kesultanan Aceh pada abad ke-16. Sebagai benteng pertahanan utama, struktur ini dibangun untuk menghadapi ancaman dari kerajaan-kerajaan lain, terutama saat konflik dengan Kesultanan Aceh yang berupaya menguasai jalur perdagangan strategis di Selat Malaka.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa pada pertengahan abad ke-16, terjadi pertempuran besar antara pasukan Kerajaan Aru yang bertahan di Benteng Putri Hijau melawan pasukan Kesultanan Aceh yang dibantu oleh Kesultanan Johor dan Portugis. Dalam pertempuran tersebut, Raja Aru dikabarkan gugur dan benteng akhirnya jatuh ke tangan Kesultanan Aceh.
Aspek Budaya dan Legenda
Di area situs terdapat dua mata air yang memiliki nilai penting bagi masyarakat setempat:
1. Pemandian Putri Hijau
2. Pemandian Panglima atau Pancur Gading
Kedua mata air ini hingga kini masih sering dikunjungi warga untuk keperluan ritual atau pengobatan tradisional, menunjukkan keberlanjutan aspek kultural dari situs ini.
Nama "Putri Hijau" berasal dari legenda tentang seorang putri dari Kerajaan Aru yang konon memiliki kecantikan luar biasa dengan kulit berwarna hijau. Legenda menyebutkan bahwa setelah kekalahan Kerajaan Aru, Putri Hijau ditangkap dan dibawa ke Aceh, namun menghilang secara misterius dalam perjalanan.
Terdapat pula cerita tentang meriam sakti yang dipercaya dapat menembakkan peluru emas untuk melindungi benteng. Menurut kisah yang berkembang, ketika benteng diserang, meriam ini meledak sendiri dan menghilang secara misterius.
Upaya Pelestarian dan Tantangan
Pada tahun 2019, Benteng Putri Hijau ditetapkan sebagai cagar budaya tingkat provinsi oleh Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi. Meskipun demikian, situs ini menghadapi berbagai tantangan dalam upaya pelestariannya:
- Sebagian struktur benteng pernah mengalami kerusakan akibat pengembangan perumahan oleh Perum Perumnas
- Pada November 2022, sebagian dinding benteng dirusak oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara ketika menjalankan proyek pembangunan jalan menuju Pemandian Putri Hijau
Meskipun bentuk benteng telah dikembalikan seperti semula sesuai rekomendasi Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh, zona inti benteng masih tergolong rawan terhadap perusakan. Upaya pelestarian berkelanjutan diperlukan untuk mempertahankan nilai historis dan arkeologis dari situs penting ini.
