Tingalan Dalem Jumenengan

Tingalan Dalem Jumenengan
Keraton Surakarta (Pinterest.com/Dongeng Anak Nusantara)

Tingalan Dalem Jumenengan merupakan upacara sakral yang diselenggarakan di Keraton Surakarta untuk memperingati kenaikan tahta Susuhunan (Raja) menurut penanggalan Jawa. Secara etimologis, kata "tingalan" dalam bahasa Jawa berarti peringatan, "dalem" merupakan panggilan kehormatan untuk Raja, dan "jumenengan" berasal dari kata "jumeneng" yang bermakna bertahta.

Sejarah dan Makna

Upacara ini merupakan tradisi penting yang wajib dilaksanakan oleh kerajaan keturunan Mataram Islam, seperti Keraton Surakarta Hadiningrat. Pelaksanaannya berlangsung setiap tahun pada tanggal dua bulan Ruwah menurut kalender Jawa. Tingalan Dalem Jumenengan berfungsi sebagai simbol keberlangsungan kepemimpinan kerajaan dan menjadi wujud syukur atas kepemimpinan di Keraton Surakarta.

Rangkaian Upacara

Rangkaian upacara Tingalan Dalem Jumenengan terdiri dari beberapa tahapan penting:

1. Tari Bedhaya Ketawang: Merupakan elemen sentral dari upacara ini. Tarian sakral ini hanya dipentaskan pada saat Tingalan Dalem Jumenengan dan ditarikan oleh sembilan penari gadis remaja yang belum menikah. Tarian ini diiringi oleh gamelan Kyai Kaduk Manisrenggo dan dilaksanakan dalam suasana sakral dengan aroma dupa yang menyebar di ruangan. Susuhunan menyaksikan tarian ini dari Ndalem Ageng.

2. Pemberian Gelar Kehormatan: Dalam rangkaian upacara ini juga dilaksanakan pengangkatan dan pemberian gelar kepada Abdi Dalem dan Sentana Dalem (kerabat keraton).

3. Kirab Kereta Pusaka: Upacara juga melibatkan arak-arakan benda-benda pusaka keraton yang memiliki nilai historis dan spiritual tinggi.

4. Kirab Agung: Prosesi kirab keliling kota yang melewati berbagai ruas jalan utama di Surakarta. Rute Kirab Agung ini mirip dengan Kirab Malam 1 Suro, namun dengan titik awal yang berbeda.

Dimensi Filosofis dan Spiritual

Tari Bedhaya Ketawang dalam Tingalan Dalem Jumenengan memiliki makna filosofis mendalam sebagai representasi perjalanan hidup manusia, mulai dari kelahiran, perjalanan hidup, kematian, hingga kehidupan setelah di dunia. Menurut K.P.H. Brongtodiningrat, seorang Empu Tari Keraton Yogyakarta, tarian ini melambangkan dilema spiritual manusia antara mengikuti logika atau kebutuhan batin.

Dalam kepercayaan tradisional, tarian ini juga dianggap memiliki hubungan dengan Kanjeng Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan. Beberapa kalangan yang memiliki kemampuan spiritual meyakini bahwa selain sembilan penari yang tampak, terdapat penari kesepuluh yang bersifat gaib yang turut serta dalam pementasan.

Pelaksanaan Terkini

Pada 25 Januari 2025, Keraton Surakarta menyelenggarakan Tingalan Dalem Jumenengan untuk memperingati kenaikan tahta Susuhunan Paku Buwono XIII Kaping 21. Sebelumnya, pada 16 Februari 2023, diselenggarakan Tingalan Dalem Jumenengan ke-19 yang dihadiri oleh berbagai pemimpin kerajaan tradisional dari seluruh Nusantara, seperti perwakilan dari Kerajaan Adat Kepaksian Sekala Brak Lampung, Keraton Sumedang, Halmahera Barat Maluku Utara, Puro Pakualaman Yogyakarta, Raja Nusak Termanu Rote NTT, Kesultanan Deli, Kesultanan Paser Kalimantan Timur, Kesultanan Sanggau Pakoenegara Kalimantan Barat, Raja Keraton Keprabon Cirebon, dan KGPAA Mangkunegoro X dari Pura Mangkunegaran.

Pura Mangkunegaran sebagai bagian dari pecahan Keraton Surakarta juga menyelenggarakan Tingalan Jumenengan tersendiri untuk memperingati naik tahta KGPAA Mangkunegara X.

Signifikansi Budaya

Tingalan Dalem Jumenengan merupakan warisan budaya yang memiliki nilai penting dalam pelestarian tradisi Jawa. Upacara ini menjadi bukti keberlangsungan institusi kerajaan tradisional dalam konteks Indonesia modern dan menggambarkan kekayaan nilai filosofis, spiritual, dan estetika budaya Jawa yang telah bertahan berabad-abad. 

Ikuti AAD Today Online di GoogleNews

Berita Lainnya

Index