Pertunjukan ludruk berjudul "Ronda Rondo di Kampung Peneleh" yang digelar di Kampung Heritage Peneleh, Surabaya, pada Sabtu (22/6/2025) malam, berhasil menyampaikan kritik sosial tajam tentang krisis lapangan kerja dan ketimpangan sosial melalui dialog jenaka khas teater tradisional Jawa Timur.
Pertunjukan yang dihadiri warga setempat dan mahasiswa ini mengangkat kisah Firman Agomo dan Kokoh Munir, dua warga kampung yang terlibat dalam percakapan penuh makna saat bertugas ronda malam. Tokoh utama digambarkan sebagai seorang sarjana pengangguran yang merasa frustrasi karena kesulitan mendapatkan pekerjaan meskipun telah menyelesaikan pendidikan tinggi, sementara temannya yang berasal dari keluarga kaya hidup santai karena tinggal menunggu warisan.
Kritik sosial yang disampaikan dalam pertunjukan ini dibalut dalam candaan menghibur namun mengena di hati penonton. Salah satu dialog yang mencerminkan kegelisahan masyarakat adalah: "Iya rek, enak ya rek kayak sampean mah gak kerja... tinggal nunggu warisan wong tuo Mu kan wong sugih! Lah aku lulusan sarjana tapi tetep aja nganggur."
Pernyataan tersebut tidak hanya mengundang tawa, tetapi juga menyindir kondisi sosial yang menunjukkan ketidakseimbangan antara perjuangan rakyat kecil dengan privilese yang dimiliki segelintir orang. Tema ini menjadi sangat relevan dengan kondisi saat ini di mana banyak lulusan perguruan tinggi menghadapi kesulitan dalam mencari pekerjaan.
Pertunjukan ini menggunakan bahasa Jawa khas Surabaya yang lugas dan penuh warna lokal, membuat penonton merasa akrab seakan sedang mendengar cerita dari tetangga sendiri. Gaya bertutur yang digunakan mengingatkan pada tradisi cerita rakyat dengan improvisasi dan dialog naratif yang efektif menyampaikan emosi dan pesan moral.
Nilai-nilai moral yang diangkat dalam lakon ini meliputi pentingnya kerja keras dan tidak mudah menyerah dalam mencari penghidupan, menghindari rasa iri dan menerima realitas dengan positif, serta menyuarakan keresahan tanpa kekerasan melainkan melalui seni.
Bu Sri (48), salah seorang penonton, menyatakan apresiasi terhadap pertunjukan tersebut. "Saya senang nonton ludruk, karena ada pelajaran hidup di dalamnya. Tidak hanya tertawa, tapi kita juga disadarkan tentang keadaan kita sendiri," ujarnya.
Sementara itu, Andika (22), mahasiswa peserta kuliah lapangan, mengaku awalnya mengira ludruk adalah hiburan kuno. "Ternyata saya keliru. Justru dari sini saya sadar bahwa seni tradisional itu bisa menyampaikan pesan sosial dengan sangat kuat," katanya.
Pertunjukan ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga membuka ruang diskusi tentang realitas sosial dan pentingnya keadilan ekonomi. Hal ini menjadikan ludruk bukan sekadar tontonan, melainkan alat pendidikan karakter dan kesadaran sosial yang efektif.
Melalui lakon ini, penonton diajak merenungi bahwa pendidikan tinggi tidak selalu menjamin kemudahan dalam mencari pekerjaan, dan pentingnya perhatian semua pihak, terutama pemerintah, terhadap nasib para pencari kerja. Pertunjukan juga menyoroti isu korupsi yang masih menjadi permasalahan di kalangan oknum pemerintah.
Ludruk "Ronda Rondo di Kampung Peneleh" membahas secara komprehensif masalah sulitnya mendapatkan pekerjaan bagi lulusan perguruan tinggi, mencerminkan realitas sosial kontemporer. Nilai-nilai sosial dalam cerita ini mencakup ketidaksetaraan sosial ekonomi yang menyoroti kurangnya akses peluang kerja, persaingan ketat di dunia kerja, dan rintangan dalam mobilitas sosial yang membuat sulitnya peningkatan status meskipun sudah berpendidikan tinggi.
Dari aspek moral, cerita ini mengedepankan pentingnya kejujuran dan integritas saat mencari pekerjaan, serta menekankan nilai ketekunan dan kerja keras. Karakter utama juga digambarkan sabar dan tetap tegar meskipun menghadapi banyak rintangan.
Dalam konteks budaya, ludruk ini menunjukkan harapan masyarakat terhadap pendidikan sebagai jalur kesuksesan, serta pentingnya dukungan keluarga dan masyarakat. Pertunjukan ini juga menjadi kritik sosial terhadap sistem pendidikan yang menyulitkan lulusan.
Sebagai teater tradisional dari Jawa Timur, Ludruk Ronda-Ronda mengeksplorasi tema kehidupan sehari-hari, termasuk aktivitas ronda malam atau siskamling. Pertunjukan ini menunjukkan nilai sosial penting seperti kerja sama dan kebersamaan dalam menjaga keamanan lingkungan.
Dari perspektif moral, tokoh-tokoh dalam pertunjukan menunjukkan tanggung jawab untuk keamanan lingkungan dan bersikap jujur saat menjalankan tugas ronda. Melalui humor dan sindiran, ludruk dapat menyampaikan kritik sosial terhadap sistem pendidikan atau kebijakan pemerintah yang menyebabkan kesulitan bagi lulusan perguruan tinggi dalam mencari pekerjaan.
Para penyelenggara merekomendasikan agar pertunjukan ludruk seperti ini dimasukkan ke dalam agenda rutin kampus dan komunitas, serta disebarluaskan ke platform digital untuk menjangkau generasi muda. Institusi pendidikan juga diharapkan dapat menjadikan seni lokal sebagai media refleksi sosial.
Di tengah gempuran media modern dan hiburan digital, ludruk tetap menunjukkan relevansinya. Cerita ludruk ini menyuarakan aspirasi rakyat biasa yang merasa tidak mendapat keadilan meskipun sudah berusaha keras. Nilai-nilai sosial, moral, dan budaya yang terkandung di dalamnya mengajak penonton untuk lebih peka terhadap ketidakadilan, menghargai kejujuran, serta menjaga semangat gotong royong dan kesetaraan dalam masyarakat.
Pertunjukan "Ronda Rondo di Kampung Peneleh" membuktikan bahwa seni tradisional dapat menjadi medium yang efektif untuk menyampaikan kritik sosial konstruktif sambil melestarikan warisan budaya lokal. Keberhasilan acara ini menunjukkan potensi besar ludruk sebagai sarana edukasi dan refleksi sosial yang relevan dengan tantangan zaman.
