SURABAYA - Kemunculan komet raksasa bernama 3I/ATLAS tengah menjadi perbincangan hangat di dunia maya. Berbagai foto dan animasi lintasan komet yang berasal dari luar tata surya ini viral di media sosial, memunculkan decak kagum sekaligus kekhawatiran publik terkait kemungkinan komet tersebut menghantam Bumi.
Namun, kekhawatiran tersebut dapat ditepis. Pakar astronomi memastikan bahwa komet 3I/ATLAS sama sekali tidak membahayakan planet Bumi.
"Ini bukan asteroid yang berpotensi tabrakan. Ia hanya lewat, melintas tata surya kita satu kali sebelum kembali ke ruang antarbintang," tegas Prof. Thomas Djamaluddin, Peneliti Ahli Utama BRIN bidang Astronomi dan Astrofisika.
Objek Antarbintang Ketiga yang Ditemukan Manusia
Komet dengan kode lengkap 3I/ATLAS pertama kali terdeteksi pada 1 Juli 2025 oleh teleskop Asteroid Terrestrial-impact Last Alert System (ATLAS) di Chile, sebuah proyek pemantauan langit yang didanai NASA. Penemuan ini terjadi ketika komet masih berada pada jarak 4,5 AU (Astronomical Unit atau satuan astronomi, di mana 1 AU setara dengan jarak Bumi-Matahari sekitar 150 juta kilometer) dari Matahari.
Penamaan komet ini memiliki makna khusus. Angka 3 pada namanya menunjukkan bahwa objek ini merupakan benda antarbintang ketiga yang berhasil diidentifikasi manusia, menyusul ʻOumuamua yang ditemukan pada 2017 dan Borisov pada 2019. Sementara huruf I merupakan singkatan dari interstellar yang berarti objek tersebut berasal dari luar tata surya.
Menurut Prof. Thomas, orbit komet ini berbentuk hiperbolik dengan eksentrisitas orbital lebih dari 6, jauh melampaui nilai 1, bukan berbentuk elips seperti komet pada umumnya. "Artinya, ia tak terikat oleh gravitasi Matahari dan hanya 'menerobos' tata surya kita. Ini bukti kuat asalnya dari sistem bintang lain," jelasnya.
Bryce Bolin, ilmuwan peneliti dari Eureka Scientific, menjelaskan evolusi penampakan komet ini. "Deteksi awal komet menunjukkan bahwa ia memiliki koma (coma, yaitu awan gas dan debu di sekitar inti komet) yang padat, dengan arah condong menuju Matahari. Namun, mulai Agustus hingga awal September, komet mulai mengembangkan ekor panjang yang berlawanan arah dengan Matahari. Perkembangan ekor ini diduga disebabkan oleh partikel debu berukuran sekitar 1 milimeter yang bergerak perlahan ke arah berlawanan Matahari akibat tekanan radiasi matahari," ujar Bolin kepada Universe Today.
Dimensi Luar Biasa dan Kecepatan Tinggi
Secara fisik, 3I/ATLAS memiliki ukuran yang benar-benar mengesankan. Koma komet ini mencapai diameter 25.000 kilometer, sekitar dua kali diameter Bumi. Bahkan pengamatan menggunakan James Webb Space Telescope (JWST) menunjukkan bahwa koma gas CO₂ (karbon dioksida) yang dihasilkannya dapat membentang hingga 700.000 kilometer, atau setengah dari diameter Matahari.
"Ukuran ini membuat 3I/ATLAS jauh lebih masif daripada ʻOumuamua dan Borisov, setidaknya seribu kali lipat," ungkap Prof. Thomas mengutip hasil studi dari Harvard.
Komet ini juga bergerak dengan kecepatan luar biasa tinggi, mencapai sekitar 215.000 kilometer per jam atau 58 kilometer per detik relatif terhadap Matahari. Kecepatan tersebut menjadikannya salah satu objek tercepat yang pernah diamati di tata surya.
Bolin menambahkan fenomena menarik lainnya. "Komet tampak mulai berubah menjadi hijau karena gas-gas komet. Ini disebabkan oleh emisi karbon diatomik (cyanogen gas atau gas sianogen) yang memberikan warna hijau pada komet. Hal ini terlihat dalam spektroskopi terbaru yang diambil di Gemini South," katanya.
Lintasan Aman, Tidak Ada Ancaman Tabrakan
Titik terdekat 3I/ATLAS dengan Matahari (*perihelion* atau titik orbit terdekat dengan Matahari) terjadi pada Rabu, 29 Oktober 2025 sekitar pukul 11:47 waktu universal (UT), pada jarak 1,36 AU dari Matahari. Posisi tersebut berada di dalam orbit Mars, dengan jarak sekitar 1,8 AU dari Bumi.
"Lintasannya aman. Jarak minimumnya dari Bumi tetap jauh, jadi tidak ada potensi tabrakan," tegas Prof. Thomas.
Komet ini melintas sangat dekat dengan Mars pada 3 Oktober 2025, hanya berjarak 0,19 AU. Berbagai wahana antariksa di sekitar Planet Merah, termasuk rover NASA di permukaan Mars dan misi-misi European Space Agency (ESA) yang mengorbit Mars seperti Mars Express dan ExoMars Trace Gas Orbiter, memanfaatkan momen langka ini untuk melakukan pemantauan.
Pada saat perihelion, posisi komet berada hampir tepat di sisi berlawanan Bumi relatif terhadap Matahari, sehingga tidak dapat diamati dengan mudah dari Bumi. Namun, berbagai satelit dan wahana antariksa berhasil menangkap keberadaannya. Worachate Boonplod berhasil menemukan komet dengan magnitudo +11 (magnitudo, ukuran kecerlangan benda langit; semakin besar angkanya, semakin redup) dalam citra CCOR-1 (Compact Coronagraph atau koronagraf kompak) yang terpasang di satelit GOES-19 milik NOAA.
Instrumen koronagraf lainnya seperti Polarimeter to Unify the Corona Heliosphere (PUNCH) dan LASCO C2 milik Solar Heliospheric Observatory (SOHO) juga berhasil melacak pergerakan 3I/ATLAS saat mendekati perihelion, meski dengan tingkat kesulitan tinggi mengingat kecerlangannya yang sangat redup.
Peluang Pengamatan dari Bumi
Meski viral di internet, mengamati 3I/ATLAS secara langsung dari Bumi bukanlah hal mudah. Pada Oktober-November 2025, posisinya terlalu dekat dengan arah Matahari sehingga terhalang oleh cahaya Matahari yang terang. Namun mulai akhir November hingga Desember 2025, komet ini akan dapat diamati di rasi bintang Virgo dan Leo, meskipun hanya dapat terlihat melalui teleskop berukuran besar.
Dengan kecerlangan maksimal hanya mencapai magnitudo +11, komet ini berada di batas kemampuan teleskop amatir berukuran besar. Pengamatan memerlukan teknik pemrosesan dan penumpukan citra (image stacking) untuk dapat mendeteksi keberadaannya.
"Ini momen langka untuk menyaksikan tamu sejati dari luar tata surya," kata Prof. Thomas.
Pada 2026, komet akan meninggalkan tata surya menuju arah rasi bintang Gemini, tepatnya ke arah bintang Zeta Geminorum, melanjutkan perjalanan panjangnya melintasi ruang antarbintang.
Misi Antariksa Memanfaatkan Momen Langka
Wahana antariksa Jupiter Icy Moons Orbiter (JUICE) milik ESA yang sedang dalam perjalanan menuju Jupiter juga merencanakan pemantauan komet mulai awal November 2025 dari jarak sekitar 0,4 AU.
Peluang mengamati objek antarbintang dari jarak relatif dekat merupakan kesempatan emas bagi para ilmuwan. Berbeda dengan ʻOumuamua yang hanya terdeteksi saat sudah meninggalkan tata surya, 3I/ATLAS ditemukan jauh lebih awal saat masih berada 4,5 AU dari Matahari, memberikan waktu lebih banyak untuk studi mendalam.
Pembelajaran Ilmiah, Bukan Ancaman
Prof. Thomas menegaskan bahwa komet 3I/ATLAS bukan pertanda bahaya, melainkan pengingat akan luasnya dan misteri alam semesta. Objek seperti ini memberikan kesempatan berharga bagi ilmuwan untuk memahami bagaimana sistem planet terbentuk di galaksi lain dan komposisi materi antarbintang.
"Setiap kali kita mempelajari tamu antarbintang, kita belajar sedikit lebih banyak tentang asal usul kita sendiri," tutup Prof. Thomas.
Para ahli memperkirakan bahwa 3I/ATLAS kemungkinan berasal dari cakram tebal Bima Sakti (thick disk, struktur galaksi yang berisi bintang-bintang tua) dan merupakan objek yang jauh lebih tua daripada tata surya kita. Dengan kecepatan 58 kilometer per detik relatif terhadap Matahari, komet ini terlalu cepat untuk dapat dikejar dengan teknologi wahana antariksa saat ini, meski ESA telah merencanakan misi Comet Interceptor yang suatu hari nanti diharapkan dapat melakukan hal tersebut.
Terkait berbagai teori konspirasi yang beredar di media sosial, para ilmuwan menerapkan prinsip Pisau Occam (Occam's Razor, prinsip filosofis yang menyatakan bahwa penjelasan paling sederhana cenderung yang paling benar). Meski secara teoritis 3I/ATLAS bisa saja merupakan objek buatan atau bahkan armada invasi alien, tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaim tersebut. Semua pengamatan menunjukkan bahwa objek ini adalah komet biasa dengan karakteristik standar seperti koma, ekor debu, dan emisi gas, hanya saja berasal dari luar tata surya.
Dengan sistem pemantauan langit seperti teleskop Vera C. Rubin yang baru beroperasi pada 2025 dan mampu mendeteksi objek dengan kecerlangan jauh lebih redup, para astronom memperkirakan akan semakin banyak objek antarbintang berukuran lebih kecil yang terdeteksi melintas tata surya dalam waktu dekat. Penemuan 3I/ATLAS menandai kemajuan signifikan dalam kemampuan manusia mendeteksi dan mempelajari objek-objek langit yang datang dari sistem bintang lain.