Pulung Gantung: Pati Ngendat, Tinjauan Objektif Terhadap Produksi Film Horor Indonesia Berbasis Mitos Lokal

Pulung Gantung: Pati Ngendat, Tinjauan Objektif Terhadap Produksi Film Horor Indonesia Berbasis Mitos Lokal
Foto tangkapan layar poster film Pulung Gantung: Pati Ngendat. (credit: Instagram/@filmpulunggantung)

Film horor Indonesia terbaru Pulung Gantung: Pati Ngendat yang tayang pada 6 Februari 2025 menjadi bukti nyata bahwa industri perfilman dalam negeri masih terjebak dalam formula usang yang tidak mampu mengikuti perkembangan zaman. Karya sutradara Chiska Doppert ini mengangkat mitos lokal dari Gunungkidul, Yogyakarta, namun gagal mengeksekusinya dengan standar sinema kontemporer yang memadai.

Film ini menceritakan perjalanan Ryan yang diperankan Andrew Barrett, seorang pemuda yang kembali ke kampung halamannya di Gunungkidul setelah mendapat kabar tentang kematian ayahnya Prasetyo yang diperankan Indra Pacique. Meskipun dilarang oleh ibunya Marlina yang diperankan Adelia Rasya, Ryan tetap memutuskan melakukan perjalanan melayat bersama teman-temannya Alana yang diperankan Nadia Bulan Sofya, Ben yang diperankan Michael Russell, dan Elsa yang diperankan Annisa Aurelia Kaila.

Sesampainya di desa, mereka menyadari wilayah tersebut tengah dilanda kutukan supernatural bernama Pulung Gantung. Menurut kepercayaan lokal, Pulung Gantung merupakan fenomena mistis berupa cahaya merah kebiruan yang jatuh dari langit dan menimpa atap rumah sebagai pertanda bahwa penghuni rumah akan melakukan tindakan bunuh diri dengan cara gantung diri. Ketika hendak meninggalkan desa, Alana mengalami kerasukan, memaksa Ryan dan teman-temannya berjuang menyelamatkannya dari kuasa banaspati tersebut.

 

Kegagalan Teknis yang Mendasar

Dari perspektif teknis, Pulung Gantung: Pati Ngendat menunjukkan kelemahan yang sangat mencolok dalam berbagai aspek produksi. Kualitas sinematografi film ini mengalami kendala serius, terutama dalam hal color grading yang tampak gelap dan kabur pada hampir seluruh durasi film. Bahkan dengan pengaturan kecerahan layar maksimal, gambar tetap tampak kusam dan tidak jelas, menciptakan pengalaman visual yang tidak memuaskan bagi penonton.

Masalah teknis ini semakin diperparah oleh efek khusus yang terkesan amatir dan tidak profesional. Penggambaran banaspati atau meteor supernatural dalam film ini justru menimbulkan efek komedi yang tidak disengaja karena kualitas Computer Generated Imagery (CGI) yang sangat rendah. Visual meteor Pulung Gantung lebih menyerupai efek grafis televisi swasta ketimbang standar film layar lebar, menciptakan kesan absurd yang menghilangkan atmosfer horor yang seharusnya dibangun.

Kualitas audio dan musik juga menjadi kelemahan signifikan dalam film ini. Scoring musik yang berlebihan dan tidak sinkron dengan alur cerita justru mengganggu konsentrasi penonton. Perubahan musik yang tiba-tiba dan tidak koheren menciptakan kesan perpindahan genre yang tidak smooth, seolah-olah penonton sedang menonton beberapa film berbeda dalam satu tayangan.

 

Performa Akting yang Mengecewakan

Andrew Barrett sebagai pemeran utama Ryan menunjukkan performa akting yang kaku dan tidak ekspresif. Sebagai aktor yang pertama kali memerankan karakter utama dalam film layar lebar, Barrett belum mampu membawa karakter Ryan dengan meyakinkan. Ekspresi wajah yang datar dan dialog yang disampaikan tanpa emosi membuat karakter Ryan terasa hambar dan tidak relatable bagi penonton.

Para pemeran pendukung juga menampilkan kualitas akting yang sama mengecewakan. Dialog antar karakter terasa tidak natural dengan tempo yang terlalu cepat tanpa jeda yang tepat. Percakapan antara satu karakter dengan karakter lainnya terkesan terburu-buru tanpa memberikan ruang bagi penonton untuk memahami konteks dan emosi yang ingin disampaikan.

Permasalahan akting ini semakin kentara pada adegan-adegan kerasukan yang seharusnya menjadi klimaks emosional dalam film. Alih-alih menampilkan ekspresi ketakutan dan ketegangan yang autentik, para aktor justru menampilkan gerakan dan mimik yang berlebihan hingga terkesan absurd dan tidak meyakinkan.

 

Narasi yang Tidak Matang

Dari segi storytelling, Pulung Gantung: Pati Ngendat menderita masalah mendasar dalam pengembangan plot dan karakter. Film ini tidak memberikan penjelasan yang memadai mengenai asal-usul dan mekanisme kerja kutukan Pulung Gantung. Mitos yang seharusnya menjadi fondasi cerita justru dijelaskan secara dangkal dan tidak sistematis, meninggalkan banyak pertanyaan yang tidak terjawab.

Pengembangan karakter dalam film ini juga terasa sangat minimal. Tidak ada eksplorasi psikologis yang mendalam terhadap motivasi dan latar belakang masing-masing karakter. Ryan sebagai protagonis tidak memiliki character arc yang jelas, begitu pula dengan karakter-karakter pendukung lainnya yang terkesan hanya menjadi plot device untuk menggerakkan cerita tanpa memiliki dimensi yang kompleks.

Pacing atau tempo cerita dalam film ini juga bermasalah. Film terasa terburu-buru di bagian awal namun menjadi lambat dan membosankan di bagian tengah. Tidak ada gradasi ketegangan yang dibangun secara sistematis, sehingga klimaks film terasa anti-climactic dan tidak memuaskan. Twist yang dipaksakan justru membingungkan penonton karena tidak dipersiapkan dengan foreshadowing yang memadai.

 

Formula Horor Usang yang Tidak Efektif

Chiska Doppert sebagai sutradara tampaknya masih terjebak dalam formula horor Indonesia era 2000-an yang sudah tidak relevan dengan standar film horor kontemporer. Teknik jumpscare yang diterapkan dalam film ini lebih mengganggu daripada menyeramkan. Efek suara mengejutkan yang muncul setiap beberapa menit justru menghilangkan ketegangan alami yang seharusnya dibangun secara gradual.

Film ini terlalu mengandalkan shock value berupa adegan bunuh diri gantung yang berulang tanpa mempertimbangkan dampak psikologis terhadap penonton. Yang lebih mengkhawatirkan, film ini tidak menyertakan trigger warning yang memadai meskipun mengandung konten yang berpotensi memicu trauma bagi penonton yang sensitif terhadap isu bunuh diri.

Pendekatan horor yang dipilih dalam film ini juga tidak konsisten. Film ini berusaha menggabungkan berbagai elemen supernatural dalam satu cerita, mulai dari banaspati, kerasukan, hingga kutukan mistis, namun tidak berhasil mengintegrasikannya dengan koheren. Hasilnya adalah cerita yang terasa overloaded dengan berbagai elemen horor yang tidak saling mendukung.

 

Masalah Produksi dan Post-Production

Aspek produksi Pulung Gantung: Pati Ngendat menunjukkan keterbatasan anggaran yang signifikan. Kualitas makeup dan kostum terlihat standar bahkan cenderung amatir. Production design tidak mampu menciptakan atmosfer autentik yang mendukung cerita, meskipun setting desa Gunungkidul sebenarnya memiliki potensi visual yang menarik.

Post-production film ini juga bermasalah, terutama dalam hal editing dan color correction. Transisi antar scene terasa kasar dan tidak smooth, menciptakan kesan film yang dipotong-potong tanpa pertimbangan alur naratif yang matang. Color grading yang gelap dan tidak konsisten justru mengurangi kualitas visual keseluruhan film.

Sound design dalam film ini juga tidak profesional. Selain musik scoring yang bermasalahan, efek suara ambient dan foley juga terkesan generic dan tidak mendukung atmosfer horor yang ingin dibangun. Kualitas audio dialog juga tidak konsisten, dengan beberapa bagian yang sulit didengar dan bagian lain yang terlalu keras.

 

Isu Sensitivitas dan Tanggung Jawab Sosial

Salah satu kelemahan paling serius dari Pulung Gantung: Pati Ngendat adalah pendekatan yang tidak sensitif terhadap isu bunuh diri. Film ini menampilkan adegan bunuh diri gantung secara berulang tanpa memberikan konteks yang memadai atau pesan edukatif yang konstruktif. Hal ini sangat bermasalah mengingat Gunungkidul memang memiliki tingkat bunuh diri yang relatif tinggi dalam kehidupan nyata.

Film ini gagal memberikan perspektif yang mendalam tentang faktor-faktor kompleks yang berkontribusi terhadap kasus bunuh diri, seperti tekanan mental, masalah ekonomi, dan konflik keluarga. Alih-alih memberikan pemahaman yang nuanced tentang isu sosial yang serius ini, film justru memperkuat stigma dengan mengaitkan bunuh diri semata-mata dengan faktor supernatural.

Tidak adanya trigger warning yang memadai juga menunjukkan kurangnya kesadaran pembuat film terhadap dampak psikologis yang mungkin dialami penonton. Ini merupakan bentuk ketidakbertanggungjawaban dalam memproduksi konten yang berpotensi harmful bagi kesehatan mental penonton.

 

Perbandingan dengan Standar Film Horor Kontemporer

Jika dibandingkan dengan film horor Indonesia kontemporer yang berkualitas seperti Pengabdi Setan, Danur, atau KKN di Desa Penari, Pulung Gantung: Pati Ngendat tertinggal jauh dalam hampir semua aspek. Film-film tersebut berhasil menghadirkan horor yang efektif melalui world-building yang solid, karakter yang well-developed, dan eksekusi teknis yang profesional.

Pulung Gantung: Pati Ngendat lebih menyerupai produksi Film Televisi (FTV) ketimbang film layar lebar. Kualitas produksi, akting, dan storytelling yang ditampilkan tidak memenuhi standar minimum yang diharapkan dari film bioskop. Hal ini sangat disayangkan mengingat potensi mitos Pulung Gantung yang sebenarnya menarik untuk dieksplorasi dengan pendekatan yang lebih matang.

 

Dampak Terhadap Industri Film Indonesia

Kehadiran film berkualitas rendah seperti Pulung Gantung: Pati Ngendat berpotensi memberikan dampak negatif terhadap persepsi publik tentang kualitas film horor Indonesia. Di saat industri film Indonesia sedang berusaha meningkatkan standar dan daya saing di kancah internasional, karya seperti ini justru menjadi kemunduran yang merugikan.

Film ini juga menunjukkan masih adanya mentalitas quantity over quality dalam industri film Indonesia. Alih-alih fokus pada pengembangan script, pre-production yang matang, dan eksekusi yang profesional, pembuat film sepertinya lebih terburu-buru untuk memproduksi konten tanpa memperhatikan kualitas yang memadai.

 

Rekomendasi untuk Perbaikan

Untuk film-film horor Indonesia selanjutnya, khususnya yang mengangkat mitos lokal, beberapa aspek yang perlu diperbaiki antara lain pengembangan script yang lebih mendalam dengan riset yang komprehensif tentang latar belakang budaya yang diangkat. Pre-production yang matang dengan storyboard yang detail dan perencanaan teknis yang sistematis juga sangat diperlukan.

Investasi dalam aspek teknis seperti sinematografi, sound design, dan post-production harus ditingkatkan. Kualitas akting juga perlu diperhatikan melalui casting yang lebih selektif dan acting coaching yang memadai. Yang tidak kalah penting adalah kesadaran tentang tanggung jawab sosial dalam memproduksi konten, terutama yang berkaitan dengan isu-isu sensitif seperti bunuh diri.

 

Kesimpulan

Pulung Gantung: Pati Ngendat merupakan kegagalan dalam hampir semua aspek pembuatan film. Dari segi teknis, naratif, akting, hingga tanggung jawab sosial, film ini tidak memenuhi standar yang diharapkan dari sebuah produksi sinema kontemporer. Meskipun mengangkat mitos lokal yang berpotensi menarik, eksekusi yang buruk justru merusak kesempatan untuk menghadirkan karya horor Indonesia yang berkualitas.

Film ini lebih layak menjadi bahan pembelajaran tentang bagaimana tidak membuat film horor ketimbang menjadi hiburan yang layak ditonton. Pulung Gantung: Pati Ngendat dapat dikategorikan sebagai salah satu film horor Indonesia terburuk tahun 2025 yang sebaiknya dihindari oleh penonton yang menghargai kualitas sinema yang baik.

Industri film Indonesia membutuhkan introspeksi mendalam untuk mencegah produksi film-film berkualitas rendah seperti ini di masa depan. Tanpa peningkatan standar yang signifikan, film Indonesia akan sulit bersaing di pasar regional maupun internasional yang semakin kompetitif. 

Ikuti AAD Today Online di GoogleNews

Berita Lainnya

Index