Rusia dan Korea Utara Memiliki Hubungan yang Rumit Selama Beberapa Dekade

Rusia dan Korea Utara Memiliki Hubungan yang Rumit Selama Beberapa Dekade
Vladimir Smirnov, Sputnik, Foto Kolam Kremlin melalui AP, File

Presiden Vladimir Putin berada di Korea Utara untuk menghadiri pertemuan puncak dengan pemimpinnya, Kim Jong Un, seiring kedua negara memperdalam kerja sama mereka.

Kunjungan ini terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran mengenai pengaturan di mana Pyongyang memberikan Moskow amunisi yang sangat dibutuhkan untuk memicu perang Rusia di Ukraina dengan imbalan bantuan ekonomi dan teknologi guna meningkatkan ancaman yang ditimbulkan oleh program senjata nuklir dan rudal Kim.

Meskipun kepentingan mereka sering sejalan, hubungan antara Rusia dan Korea Utara mengalami pasang surut. Beberapa peristiwa penting:

1945-1948 — Pemerintahan kolonial Jepang di Semenanjung Korea berakhir dengan kekalahan Tokyo pada Perang Dunia II pada tahun 1945, namun semenanjung tersebut akhirnya terbagi menjadi wilayah utara yang didukung Soviet dan wilayah selatan yang didukung AS. Militer Soviet mengangkat calon diktator Kim Il Sung, mantan pemimpin gerilya yang melawan pasukan Jepang di Manchuria, untuk berkuasa di Utara.

1950-1953 — Pasukan Kim Il Sung melancarkan serangan mendadak ke Selatan pada bulan Juni 1950, memicu Perang Korea. Konflik tersebut mendatangkan kekuatan dari Republik Rakyat Tiongkok yang baru dibentuk, dibantu oleh angkatan udara Soviet. Pasukan dari Korea Selatan, Amerika Serikat dan negara-negara lain di bawah arahan PBB bertempur untuk memukul mundur invasi tersebut. Gencatan senjata tahun 1953 menghentikan pertempuran dan membuat Semenanjung Korea berada dalam kondisi perang teknis.

Pertengahan tahun 1950-an hingga 1960-an — Uni Soviet terus memberikan bantuan ekonomi dan militer kepada Korea Utara, namun hubungan mereka menurun ketika Kim Il Sung dengan kejam membersihkan faksi-faksi pro-Soviet dan pro-Tiongkok dalam kepemimpinan Korea Utara untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya. Moskow mengurangi bantuannya namun tidak menghentikannya sampai akhir Perang Dingin.

1970-an — Ketika persaingan antara Uni Soviet dan Tiongkok semakin meningkat, Korea Utara menerapkan kebijakan “jarak yang sama” yang memungkinkan mereka mengadu domba raksasa komunis yang saling bermusuhan untuk mendapatkan lebih banyak bantuan dari keduanya. Pyongyang juga berusaha mengurangi ketergantungannya pada Moskow dan Beijing, namun serangkaian kegagalan kebijakan menyusul pinjaman besar-besaran dari pasar keuangan internasional mendorong perekonomian Korea Utara ke dalam kekacauan selama beberapa dekade.

1980-an — Menyusul naiknya kekuasaan Mikhail Gorbachev, Uni Soviet mulai mengurangi bantuan ke Korea Utara dan mendukung rekonsiliasi dengan Korea Selatan. Seoul juga memperluas hubungan diplomatik dengan negara-negara komunis di Eropa Timur, sehingga membuat Pyongyang semakin terisolasi.

1990-an — Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991 membuat Korea Utara kehilangan peran utama dalam bidang ekonomi dan keamanan. Pemerintahan pasca-komunis di Moskow yang dipimpin oleh Presiden Boris Yeltsin tidak menunjukkan antusiasme untuk mendukung Korea Utara dengan terus memberikan bantuan dan subsidi perdagangan. Moskow menjalin hubungan diplomatik formal dengan Seoul dengan harapan dapat menarik investasi Korea Selatan dan membiarkan aliansi militer era Soviet dengan Korea Utara berakhir. Kim Il Sung meninggal pada tahun 1994, dan Korea Utara mengalami kelaparan parah pada akhir tahun 1990an. Jumlah kematian diperkirakan mencapai ratusan ribu.

Awal tahun 2000an — Setelah terpilih pertama kali sebagai presiden pada tahun 2000, Vladimir Putin secara aktif berupaya memulihkan hubungan Rusia dengan Korea Utara. Putin mengunjungi Pyongyang pada bulan Juli tahun itu untuk bertemu dengan Kim Jong Il, pemimpin Korea Utara generasi kedua. Keduanya mengeluarkan kritik bersama terhadap rencana pertahanan rudal AS. Kunjungan tersebut dipandang sebagai pernyataan Rusia bahwa pihaknya akan berupaya memulihkan wilayah pengaruh tradisionalnya ketika perbedaan pendapat antara Moskow dan negara-negara Barat mengenai isu-isu keamanan utama semakin meningkat. Putin menjadi tuan rumah bagi Kim Jong Il untuk pertemuan berikutnya di Rusia pada tahun 2001 dan 2002.

Pertengahan hingga akhir tahun 2000an — Meskipun hubungan keduanya lebih hangat, Rusia dua kali mendukung sanksi Dewan Keamanan PBB terhadap Korea Utara atas program senjata nuklir dan rudal yang baru lahir. Rusia berpartisipasi dalam perundingan yang bertujuan membujuk Korea Utara agar meninggalkan program nuklirnya dengan imbalan keuntungan keamanan dan ekonomi. Perundingan tersebut, yang juga melibatkan AS, Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang, gagal pada bulan Desember 2008.

2011-2012 — Beberapa bulan setelah pertemuan puncak dengan Presiden Rusia saat itu Dmitry Medvedev pada Agustus 2011, Kim Jong Il meninggal dan digantikan oleh putranya, Kim Jong Un. Pada tahun 2012, Rusia setuju untuk menghapuskan 90% utang Korea Utara yang diperkirakan berjumlah $11 miliar.

2016-2017 — Kim Jong Un mempercepat uji coba nuklir dan rudal Korea Utara. Rusia mendukung sanksi ketat Dewan Keamanan yang mencakup pembatasan pasokan minyak dan tindakan keras terhadap ekspor tenaga kerja negara tersebut.

2018-2019 — Kim Jong Un memulai diplomasi dengan Washington dan Seoul untuk memanfaatkan program nuklirnya demi keuntungan ekonomi. Ia juga mencoba meningkatkan hubungan dengan sekutu lamanya, Tiongkok dan Rusia untuk meningkatkan daya tawarnya. Setelah pertemuan keduanya dengan Presiden AS Donald Trump gagal karena sanksi yang dipimpin AS terhadap Korea Utara, Kim Jong Un melakukan perjalanan ke kota Vladivostok di Rusia timur untuk menghadiri pertemuan puncak pertamanya dengan Putin pada bulan April 2019. Para pemimpin berjanji untuk memperluas kerja sama, namun pertemuan tidak membuahkan hasil yang berarti.

 

2022 — Korea Utara memanfaatkan gangguan yang disebabkan oleh perang Rusia terhadap Ukraina untuk lebih meningkatkan uji coba senjatanya. Korea Utara menyalahkan Amerika Serikat atas konflik tersebut. Pyongyang mengklaim “kebijakan hegemonik” Barat memberikan justifikasi kepada Putin untuk membela Rusia dengan mengirimkan pasukan ke negara tetangganya. Korea Utara bergabung dengan Rusia dan Suriah dalam mengakui kemerdekaan dua wilayah separatis yang didukung Moskow di Ukraina timur. Rusia dan Tiongkok menghalangi upaya yang dipimpin AS di Dewan Keamanan untuk memperkuat sanksi terhadap Korea Utara atas intensifnya uji coba rudal mereka.

12 September 2023 — Kim Jong Un bertemu Putin di Timur Jauh Rusia, yang merupakan pertemuan puncak pertama mereka sejak 2019. Para pejabat AS dan Korea Selatan mengatakan pertukaran militer, ekonomi, dan lainnya antara Korea Utara dan Rusia telah meningkat tajam sejak saat itu. Washington dan Seoul menuduh Korea Utara menyediakan artileri, rudal, dan peralatan militer lainnya kepada Rusia untuk membantu perang mereka di Ukraina, mungkin sebagai imbalan atas teknologi dan bantuan militer utama. Baik Pyongyang maupun Moskow membantah tuduhan mengenai transfer senjata Korea Utara. 18 Oktober 2023 – Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengunjungi Korea Utara dan berterima kasih kepada Pyongyang atas dukungannya yang “tak tergoyahkan” terhadap tindakan Moskow di Ukraina. Dia kemudian bertemu dengan Kim Jong Un dan mengusulkan perundingan keamanan tiga arah rutin yang melibatkan Tiongkok untuk menangani apa yang dia gambarkan sebagai meningkatnya ancaman militer regional yang dipimpin AS.

16 Januari 2024 – Menteri Luar Negeri Korea Utara Choe Son Hui bertemu Putin dan Lavrov di Moskow untuk berdiskusi mengenai penerapan perjanjian yang dicapai selama pertemuan puncak Putin-Kim. Putin menegaskan kembali keinginannya untuk mengunjungi Korea Utara.

28 Maret 2024 — Rusia memveto resolusi Dewan Keamanan PBB, mengakhiri pemantauan sanksi PBB terhadap Korea Utara atas program nuklirnya. Tindakan ini memicu tuduhan Barat bahwa Moskow berusaha menghindari pengawasan karena mereka membeli senjata dari Pyongyang untuk digunakan di Ukraina.

19 Juni 2024 — Putin tiba di Pyongyang, Korea Utara.

Ikuti AAD Today Online di GoogleNews

Berita Lainnya

Index