Review Film Horor Lorong Kost: Sajikan Teror Psikologis dalam Balutan Kisah Anak Kos

Review Film Horor Lorong Kost: Sajikan Teror Psikologis dalam Balutan Kisah Anak Kos
Foto poster film Lorong Kost. (Credit: Instagram/filmlorongkost)

Film horor teranyar yang berjudul "Lorong Kost" telah mulai diputar di bioskop-bioskop Indonesia sejak 26 Juni 2025. Disutradarai sekaligus ditulis skenarionya oleh Ganank Dera, film produksi Minka Rosie Production ini menghadirkan pendekatan berbeda dalam genre horor dengan mengusung elemen psikologis yang mendalam.

 

Tak seperti film horor biasa yang menggunakan kejutan mendadak, "Lorong Kost" mengandalkan suasana tenang dan penuh teka-teki sebagai daya tarik utamanya. Film ini bercerita tentang Tika, seorang perempuan muda yang terpaksa memilih tinggal di sebuah kos tua demi menghemat biaya hidup di kota besar. Keputusan tersebut justru membawanya pada serangkaian gangguan misterius yang menekan kehidupannya.

 

Sutradara Ganank Dera tidak hanya bertujuan menakut-nakuti penonton, tetapi juga mengajak mereka merenung tentang tekanan hidup dan luka batin seperti trauma masa lalu dan rasa kehilangan.

 

Dari segi teknis, film ini berhasil membangun atmosfer horor mencekam melalui tata suara dan pencahayaan yang mendukung. Color grading yang cerah di awal film mencerminkan suasana lebaran ketika karakter Tika pertama kali menjadi anak kos, sementara make up yang colorful dari ibu kos hingga pemeran utama turut memperkuat karakterisasi.

 

Namun, beberapa aspek mendapat sorotan kritik. Alur cerita dinilai mudah ditebak, terutama pada bagian depresi karakter Tania akibat kehilangan Mas Robi hingga kematiannya di tangan Ira. Menurut saya (Ali Azhar D) Alur ini sangat general sekali sekelas film bioskop, Ini lebih ke sinetron TV.

 

Performa akting juga menjadi catatan tersendiri. Karakter Mas Bono dinilai agak kaku dalam memerankan karakternya, berbeda dengan Om Ram yang lebih natural. Adegan horor seperti saat Om Ram kesurupan juga mendapat kritik karena pencahayaan yang terlalu gelap hingga wajah pemeran tidak terlihat jelas.

 

Aspek jumpscare dalam film ini dinilai biasa saja oleh sebagian penonton. Soundtrack dan efek suara hantu disarankan lebih didekatkan ke sisi psikologis agar tidak terkesan monoton dan lebih memberikan dampak mendalam.

 

Meski demikian, "Lorong Kost" tetap menawarkan pengalaman berbeda dengan memilih latar yang relatable dengan kehidupan masyarakat urban. Kondisi Tika yang memilih kos angker demi menghemat biaya merupakan realitas yang cukup umum dialami anak muda di kota besar.

 

Film ini menjadi salah satu tontonan alternatif bagi pencinta horor Indonesia yang mencari cerita segar dengan atmosfer menegangkan. Meskipun terdapat beberapa kekurangan dalam eksplorasi alur dan ada bagian yang terasa lambat, "Lorong Kost" tetap layak ditonton bagi penikmat horor dengan elemen misteri dan supranatural.

 

Bagi penonton yang tertarik merasakan pengalaman horor psikologis yang berbeda, film "Lorong Kost" kini telah dapat disaksikan di bioskop-bioskop seluruh Indonesia sejak 26 Juni 2025. 

Ikuti AAD Today Online di GoogleNews

Berita Lainnya

Index