SURABAYA, AAD Today - Film horor Indonesia terbaru berjudul Tenung by Risa Saraswati dan Dimasta yang mulai tayang serentak di bioskop pada 5 Juni 2024 menuai kritik pedas dari kritikus film. Karya adaptasi novel Risa Saraswati dan Dimasta ini, yang disutradarai oleh Rizal Mantovani dan diproduksi oleh MD Pictures, dinilai gagal mempertahankan kualitas cerita asli dan justru menambah deretan film horor lokal yang "bukannya serem, malah jadi lucu."
Tenung mengisahkan tiga bersaudara Ira (Aisyah Aqilah), Ara (Sonia Alyssa), dan Ari (Emir Mahira) yang mengalami teror supranatural setelah kematian ibu mereka. Salah satu adegan ikonik menampilkan jenazah sang ibu yang bangkit setelah dilompati kucing hitam, mengadaptasi mitos lokal yang dikenal masyarakat Indonesia. Namun, eksekusi cerita dalam format film berdurasi 92 menit ini dinilai jauh dari memuaskan.
Sutradara Rizal Mantovani mengakui menghadapi tantangan dalam pengambilan adegan kucing hitam yang melompati jenazah, membutuhkan banyak pengambilan ulang untuk menciptakan momen yang tepat. Meski demikian, upaya tersebut tidak mampu menyelamatkan kualitas keseluruhan film yang dinilai memiliki alur cerita membingungkan dan tidak memiliki arah yang jelas.
Kritik utama tertuju pada adaptasi yang dianggap tidak faithful terhadap novel asli. Banyak bagian penting dari cerita original yang dihilangkan atau diubah tanpa alasan yang kuat, menghasilkan narasi yang terasa tidak lengkap. Elemen tenung atau santet dalam film ini muncul secara tiba-tiba tanpa penjelasan yang memadai tentang praktik supranatural spesifik yang menjadi inti cerita.
Dari aspek teknis, film ini menghadapi masalah serius dalam hal pacing dan tempo. Alur cerita terasa lambat dan dragging dengan banyak adegan yang seharusnya dapat dipotong atau diringkas. Momen-momen yang seharusnya menciptakan ketegangan justru terasa datar karena kurangnya build-up yang kuat.
Kualitas CGI dan efek visual menjadi sorotan kontradiktif. Sementara beberapa kritikus mengapresiasi visual yang "lumayan bagus untuk ukuran horor lokal," khususnya desain sosok iblis berleher panjang, mayoritas menilai efek supranatural terlihat tidak natural dan mengurangi kredibilitas horor. Efek hantu yang muncul kadang terlihat artificial dan kurang halus, mengubah momen tegang menjadi tidak sengaja lucu.
Pendekatan horor dalam film ini juga dikritik karena terlalu bergantung pada jumpscare klise yang berisik dan mudah ditebak, menggunakan template horor yang terasa usang. Teror yang disajikan dinilai murahan dan tidak inovatif, gagal menciptakan atmosfer mencekam yang diharapkan dari genre horor.
Meski demikian, performa akting Aisyah Aqilah dan Emir Mahira mendapat apresiasi tertentu karena mampu menyampaikan emosi kompleks dalam membawakan karakter masing-masing. Namun, pengembangan karakter secara keseluruhan dinilai kurang mendalam, menyulitkan penonton untuk berempati dengan perjuangan tokoh-tokoh utama.
Film ini mengangkat tema-tema berat seperti konflik keluarga, trauma kehilangan, dan mitos lokal Indonesia. Cerita berlatar tahun 1990-an ini menampilkan dinamika tiga anak yang tumbuh tanpa sosok ayah, menciptakan tekanan emosional dan konflik terselubung dalam keluarga. Namun, eksekusi tema-tema tersebut dinilai tidak maksimal karena terhambat oleh masalah teknis dan naratif.
Novel Tenung sendiri awalnya ditulis Risa Saraswati dan Dimasta sebagai kenang-kenangan pernikahan mereka pada tahun 2019 sebelum diangkat ke layar lebar. Keduanya sebelumnya dikenal luas melalui kesuksesan novel dan film Danur yang juga mengangkat tema supranatural.
Bagi penikmat film horor Indonesia, Tenung menjadi pengingat bahwa adaptasi novel ke layar lebar memerlukan pendekatan yang lebih cermat dan kreatif. Film ini menunjukkan bahwa kualitas cerita asli yang baik tidak otomatis menjamin kesuksesan adaptasi sinematik tanpa eksekusi yang tepat dalam hal penyutradaraan, penyuntingan, dan efek visual.
