Film Animasi Jumbo Raih Rekor Baru dan Diskusi Soal Isu Mistis

Film Animasi Jumbo Raih Rekor Baru dan Diskusi Soal Isu Mistis
Foto poster film Jumbo tahun 2025. (Credit: Instagram/@jumbofilm_id)

Film animasi lokal Jumbo yang disutradarai Ryan Adriandhy memecahkan rekor penonton baru di Indonesia. Sejak pertama kali ditayangkan pada 31 Maret 2025, Jumbo berhasil mendapatkan perhatian dari jutaan penonton. Data resmi menunjukkan jumlah penonton Jumbo telah melampaui 6 juta orang hingga pertengahan April 2025, kemudian menembus lebih dari 10 juta lebih per 2 Juni 2025. Keberhasilan ini menjadikan Jumbo bukan hanya film animasi terlaris Indonesia saat ini, tapi juga memecahkan rekor animasi di Asia Tenggara, bahkan melampaui jumlah penonton film Frozen 2 yang semula memegang rekor animasi terlaris di Tanah Air.

 

Proses pembuatan Jumbo terbilang ambisius. Film produksi Visinema Studios bersama Springboard dan Anami Films ini memerlukan waktu sekitar lima tahun pengerjaan. Diproyeksikan sejak 2020, proyek ini melibatkan sekitar 200 orang kreatif dan ratusan animator Indonesia. Hasilnya, kualitas visual Jumbo dinilai sangat detail dan memukau. Saya mencatat penggunaan warna cerah dan rendering halus yang “niat” pada setiap adegan, sebanding dengan standar film animasi internasional. Misalnya, detail-detail lingkungan seperti dinding rumah karakter Atta yang dilapisi tambalan semen kecil menunjukkan perhatian tinggi tim produksi terhadap realisme. Ani­masi dan komposisi visualnya layak mendapat apresiasi sebagai salah satu capaian teknis terbaik animasi anak bangsa.

 

Dari segi cerita, Jumbo mengangkat tema persahabatan dan petualangan dengan latar budaya Indonesia. Ceritanya berfokus pada Don (diperankan suara oleh Prince Poetiray), seorang anak laki-laki berusia 10 tahun yang berbadan gemuk, yang telah kehilangan orangtuanya sejak masih kecil. Ketika buku dongeng peninggalan orangtuanya dicuri, Don pun terlibat petualangan mengejar pencurinya. Di perjalanan itulah ia bertemu Meri seorang arwah anak kecil yang ramah dan suka membantu. Meri meminta bantuan Don serta sahabatnya, Nurman dan Mae, untuk menemukan orangtuanya yang hilang. Saya menilai narasi ini sarat pelajaran moral: keberanian menghadapi kesulitan, menerima diri sendiri, serta makna persahabatan sejati, bahkan dalam menghadapi trauma dan kehilangan. Tema kematian pun disajikan secara lembut; tanpa penggunaan kata “mati” eksplisit, film membingkai kondisi arwah sebagai bagian wajar kehidupan yang “beristirahat dengan tenang.”

 

Kearifan lokal Jumbo turut menjadi sorotan. Saya mencatat beberapa adegan berlatar budaya Indonesia. Misalnya, Jumbo menyuguhkan suasana perayaan HUT ke-17 Kemerdekaan RI dengan lomba tradisional seperti panjat pinang dan gigit koin sebagai kompetisi untuk mengumpulkan dana pertunjukan rakyat. Konflik utama film yang berkisar soal penggusuran lahan makam untuk pembangunan infrastruktur juga sangat Indonesia, lengkap dengan kemunculan arwah penjaga makam yang protes dengan ronce bunga melati. Beragam unsur ini, menurut Saya (Ali Azhar D), memperkaya nuansa lokal cerita dan membuatnya “Indonesia banget”. Bahkan, Jumbo sudah direncanakan tayang di 17 negara mulai pertengahan 2025, sehingga kisah khas nusantara ini berpotensi dinikmati penonton mancanegara.

 

Sepanjang penayangannya, Jumbo tak lepas dari pujian maupun kritik. Banyak penonton memuji animasinya yang cemerlang, naskah yang kompleks, serta keberanian sutradara membawakan tema berat dalam film anak-anak. Seorang kritikus menyatakan Jumbo “cocok dinikmati semua usia” dan patut ditonton jutaan orang karena pesan moralnya kuat tanpa menggurui. Namun, sebagian orang tua mengungkapkan kekhawatiran pada elemen mistis film ini. Satu adegan yang menjadi polemik adalah ketika Don dan Meri berkomunikasi dengan arwah melalui radio. Menurut sebagian orang tua, adegan fantasi tersebut dapat membingungkan dan menakutkan anak-anak kecil. Sejumlah penonton berpendapat Jumbo mungkin lebih sesuai untuk usia di atas enam atau sepuluh tahun. Kritik lain juga mencuat terkait nuansa horor, misalnya penampakan arwah orang tua Meri yang mengerikan, sehingga menurut mereka sosok kepala desa antagonis terlihat terlalu “psikopat” untuk film anak. Isu-isu ini memicu diskusi online apakah Jumbo pantas diberi label penonton yang lebih tinggi demi kenyamanan keluarga.

 

Meski demikian, pencapaian box office Jumbo memberikan dampak positif bagi perfilman Indonesia. Keterlibatan artis ternama seperti Bunga Citra Lestari dan Ariel Noah sebagai pengisi suara, serta lagu tema yang menyentuh hati (seperti “Selalu Ada di Nadimu” karya Laleilmanino), menambah bobot produksi. Saya menilai kualitas musik dan kolaborasi tim kreatif patut diapresiasi. Keberhasilan Jumbo menunjukkan bahwa sektor animasi di Indonesia kini dapat menciptakan karya berkualitas tinggi yang menarik perhatian banyak orang. Selain itu, anggapan bahwa hanya film horor yang sukses di tanah air mulai terbantahkan: Jumbo membuktikan bahwa genre animasi dan keluarga yang bermakna juga dapat menarik jutaan penonton. 

 

Secara keseluruhan, Jumbo menjadi sorotan karena keberanian menghadirkan cerita sederhana namun bernilai tinggi, dikemas dengan animasi berkualitas. Saya menutup laporannya dengan menyimpulkan bahwa film ini menjadi tonggak kebangkitan animasi Indonesia di layar lebar. Meskipun menuai beragam respons, Jumbo telah mencatat sejarah dan menyiratkan harapan bahwa karya-karya animasi lokal dapat terus berkembang dengan keberagaman tema dan kualitas tinggi. 

Ikuti AAD Today Online di GoogleNews

Berita Lainnya

Index