Film Ambyar Mak Byar Hadirkan Kisah Cinta Lintas Kelas Sosial dengan Nuansa Musik Pop Jawa

Film Ambyar Mak Byar Hadirkan Kisah Cinta Lintas Kelas Sosial dengan Nuansa Musik Pop Jawa
Foto tangkapan layar poster film Ambyar Mak Byar. (credit: Wikipedia.org/Aestvoyage)

Film terbaru karya sutradara Puguh P.S. Atmadja, Ambyar Mak Byar, telah resmi tayang di bioskop Indonesia mulai 9 Januari 2025. Menurut saya (Ali Azhar D), film ini menghadirkan narasi klasik tentang cinta yang terhalang perbedaan kelas sosial dengan latar belakang budaya Jawa yang kental.

 

Sinopsis dan Latar Cerita

Ambyar Mak Byar mengisahkan perjalanan cinta Bethari (Happy Asmara) dan Jeru (Gilga Sahid) yang berasal dari kelas sosial berbeda. Bethari merupakan keturunan putri raja yang tinggal di Keraton Surakarta, sementara Jeru adalah anak abdi dalem yang hidup dalam kesederhanaan. Perbedaan status sosial ini menciptakan berbagai rintangan dalam hubungan mereka, terutama dalam memperoleh restu dari keluarga masing-masing.

Di sisi lain, Jeru memiliki band campursari bernama Konco Seneng yang memimpikan kesuksesan di dunia musik. Konflik utama muncul ketika Jeru harus memilih antara mengejar impian musiknya bersama band atau mempertahankan cinta dengan Bethari. Dilema ini menjadi titik sentral yang menggerakkan alur cerita sepanjang film.

 

Kekuatan Visual dan Atmosfer Jawa

Saya (Ali Azhar D) mengamati bahwa film ini berhasil menampilkan nuansa Jawa yang autentik dari berbagai aspek. Mulai dari pemilihan lokasi, karakter, penggunaan bahasa, hingga musik yang mengiringi setiap adegan, semuanya terasa natural dan tidak dibuat-buat. Kesederhanaan yang ditampilkan bukan dalam konteks "kampungan", melainkan representasi kehidupan masyarakat biasa yang memiliki mimpi besar.

Sutradara berhasil menggambarkan kegelisahan karakter-karakter ordiner dengan pendekatan yang lugas dan jujur. Momen-momen sederhana dalam film justru memberikan dampak emosional yang kuat, seperti adegan ketika Jeru menyampaikan keputusannya untuk menyerah mengejar musik kepada ayahnya. Dialog yang sederhana namun menyentuh hati menjadi salah satu kekuatan film ini.

 

Aspek Komedi dan Pesan Moral

Elemen humor dalam film ini disajikan dengan tepat, terutama melalui karakter dua personel band yang menghadirkan kelucuan alami. Komedi yang ditampilkan tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, namun juga merepresentasikan cara masyarakat kelas bawah menghadapi kesulitan hidup dengan tetap mempertahankan semangat melalui tawa, musik, dan mimpi.

Pesan moral yang disampaikan melalui dialog "Kowe wis gedhe, kowe wis tuwek, iseh jalok mangan karo wong tuwo ojo merasa hebat" mencerminkan realitas kehidupan yang dihadapi banyak orang. Film ini berhasil menjadi cermin kehidupan masyarakat biasa yang sering kali hanya bisa tertawa menghadapi penderitaan sambil tetap berpegang pada harapan.

 

Performa Pemeran dan Tantangan Akting

Keputusan menghadirkan duo bintang dangdut Gilga Sahid dan Happy Asmara sebagai pemeran utama merupakan langkah yang menarik namun berisiko. Sebagai debut akting mereka, performa keduanya menunjukkan upaya serius meskipun masih terdapat kekakuan dalam artikulasi dan ekspresi. Transisi dari panggung musik ke layar lebar membutuhkan adaptasi yang tidak mudah, dan hal ini terlihat dalam beberapa adegan dialog.

Menariknya, karakter-karakter pendukung justru memberikan performa yang lebih memorabel. Dyah Mulani sebagai seorang ibu yang terjebak dalam dilema mempertahankan sumber nafkah, martabat, dan impian anak, berhasil menampilkan emosi yang mendalam. Ariyo Wahab tampil ikonik sebagai antagonis dari kalangan ningrat, sementara Evan Loss dalam debut aktingnya menunjukkan kemampuan penyampaian emosi yang lebih mumpuni dibandingkan lawan mainnya.

 

Elemen Komedi yang Menyelamatkan

Penampilan paling mencuri perhatian datang dari duo komedian Erick Estrada dan Yusril Fahriza. Kedua aktor yang memiliki latar belakang komedi ini berhasil memecahkan kejenuhan dengan celetukan-celetukan segar mereka. Meskipun tidak semua guyonan yang dibawakan berhasil mengundang tawa, kontribusi mereka dalam menghidupkan suasana film sangat signifikan.

 

Kekurangan dalam Struktur Cerita

Saya (Ali Azhar D) mencatat bahwa film ini memiliki kelemahan dalam fokus cerita. Terlalu banyak topik yang diangkat dalam satu bingkai narasi, mulai dari kisah cinta terlarang, persahabatan, tuntutan orangtua, pengejaran cita-cita, hingga konflik internal band musik. Hal ini menyebabkan alur cerita kehilangan arah dan terasa kurang mendalam dalam mengeksplorasi setiap konflik yang dihadirkan.

Penanganan aspek keraton dan hierarki tradisional Jawa terasa superfisial dan hanya dijadikan sebagai konflik pelengkap. Padahal, eksplorasi yang lebih mendalam terhadap elemen budaya ini berpotensi memberikan dimensi cerita yang lebih kaya dan bermakna.

 

Musik dan Soundtrack

Pemilihan musik dalam film ini menimbulkan pertanyaan tersendiri. Meskipun menggunakan judul lagu populer Ambyar Mak Byar dari Ndarboy Genk, lagu tersebut sama sekali tidak muncul dalam film, bahkan sebagai melodi pengiring. Komposisi musik oleh Abel Huray memang berkualitas, namun pemilihan lagu-lagu baru yang kurang berjiwa dibanding hit-hit populer dari katalog para pemeran utama menjadi keputusan yang patut dipertanyakan.

 

Kesimpulan dan Rekomendasi

Ambyar Mak Byar berhasil menghadirkan hiburan ringan dengan nuansa budaya Jawa yang autentik. Meskipun memiliki kelemahan dalam struktur cerita dan fokus narasi, film ini tetap layak ditonton bagi penonton yang menginginkan tontonan santai tanpa perlu berpikir terlalu keras. Pesan moral tentang perjuangan hidup, cinta, dan mimpi tersampaikan dengan cukup baik melalui kesederhanaan yang ditampilkan.

Bagi penggemar musik pop Jawa dan budaya Jawa secara umum, film ini menawarkan representasi yang cukup memuaskan. Debut akting Gilga Sahid dan Happy Asmara, meskipun belum sempurna, menunjukkan potensi yang bisa dikembangkan di masa depan. 

Ikuti AAD Today Online di GoogleNews

Berita Lainnya

Index