Film horor terbaru Narik Sukmo yang disutradarai oleh Indra Gunawan dan diproduksi oleh Mesari Pictures bersama JP Pictures resmi tayang di bioskop Indonesia pada 3 Juli 2025. Diadaptasi dari novel karya Dewie Yulliantina, film bergenre horor supernatural ini mengusung tema mistis Jawa dengan durasi 95 menit dan rating R13+. Menampilkan deretan bintang ternama seperti Febby Rastanty, Aliando Syarief, dan Dea Annisa, film ini seharusnya menjadi tontonan yang menarik bagi pecinta horor lokal.
Premis Cerita yang Klise dan Eksekusi yang Mengecewakan
Alur cerita Narik Sukmo mengisahkan Kenara Cahyaningrum (Febby Rastanty), seorang mahasiswi pencinta tari yang mengalami patah hati karena diselingkuhi pacarnya. Untuk menyembuhkan luka batin, Kenara diajak sahabatnya Ayu (Dea Annisa) berlibur ke Desa Kelawangin, sebuah desa terpencil di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, kedatangan Kenara justru memicu serangkaian teror supernatural yang mengerikan.
Sejak hari pertama, Kenara merasakan kejanggalan luar biasa. Hujan lebat yang tak kunjung reda, tatapan mencurigakan dari warga desa, dan mimpi buruk tentang bayangan hitam mulai menghantuinya. Ketakutan Kenara memuncak ketika tubuhnya mulai bergerak sendiri, menari tanpa kendali, terutama setelah secara tidak sengaja memasuki kamar terlarang di rumah Ayu dan membaca mantra kuno yang tersimpan di sana.
Gerakan tarian aneh yang dilakukan Kenara dikenali oleh warga sebagai Tarian Narik Sukmo, sebuah tarian kematian yang memiliki sejarah tragis. Tarian tersebut dulunya dibawakan oleh sepasang kekasih bernama Banyu Janggala Bagwahanta dan Ratimayu yang menjadi korban fitnah warga desa 20 tahun silam. Kini, dendam mereka bangkit melalui tubuh Kenara yang tak berdaya.
Akting yang Memaksa dan Dialog yang Kaku
Meskipun menampilkan deretan bintang ternama, performa akting dalam Narik Sukmo terasa dipaksakan dan tidak natural. Febby Rastanty, yang berperan sebagai Kenara, memang mendominasi layar dengan adegan-adegan kerasukan yang repetitif, namun transisi emosinya terasa terlalu dramatis dan berlebihan. Aksen Jawa palsu yang digunakan oleh Dea Annisa sebagai Ayu terdengar sangat mengganggu dan tidak konsisten, bahkan sesekali terdengar aksen Jakarta yang menyembul di tengah dialog.
Aliando Syarief sebagai Dierja, pemuda lokal yang membantu Kenara, sayangnya tidak mendapat porsi screen time yang cukup. Aktingnya terkesan datar dan tidak memberikan dampak signifikan pada perkembangan cerita. Bahkan aktor pendukung seperti Teuku Rifnu Wikana dan Nugie tidak mampu mengangkat kualitas performa secara keseluruhan.
Dialog dalam film ini terasa kaku dan tidak natural, mencerminkan kurangnya riset mendalam terhadap budaya dan bahasa Jawa yang menjadi latar belakang cerita. Banyak percakapan yang terasa dipaksakan dan tidak sesuai dengan karakter yang dimainkan, membuat penonton merasa tidak terhubung dengan emosi yang ingin disampaikan.
Plot yang Melompat-lompat dan Motivasi yang Tidak Jelas
Salah satu kelemahan fatal Narik Sukmo terletak pada alur cerita yang melompat-lompat tanpa penjelasan yang memadai. Banyak elemen penting dalam cerita yang tidak dijelaskan secara detail, memaksa penonton untuk menerima berbagai kejadian supernatural tanpa pemahaman yang cukup. Misalnya, mengapa Kenara bisa bermimpi tentang kejadian di desa tersebut sebelum dia benar-benar pergi ke sana? Hal ini tidak masuk akal dan terkesan dipaksakan.
Properti penting seperti selendang dan tusuk konde yang diberikan kepada Kenara di awal cerita ternyata tidak memiliki fungsi yang jelas dalam plot. Objek-objek tersebut seolah-olah hanya menjadi MacGuffin yang tidak pernah digunakan secara bermakna. Bahkan saat Kenara melakukan Tarian Narik Sukmo, dia tidak menggunakan selendang atau tusuk konde tersebut, membuat penonton bertanya-tanya untuk apa objek tersebut dihadirkan.
Karakter hantu Banyu dan Ratimayu juga tidak dikembangkan dengan baik. Motivasi mereka untuk menghantui Kenara tidak dijelaskan secara logis, mengingat Kenara sama sekali tidak memiliki kaitan dengan tragedi yang menimpa pasangan tersebut 20 tahun silam. Konflik antara dua kubu di desa yang disebutkan dalam cerita juga tidak pernah dieksplor secara mendalam, membuat latar belakang sosial yang seharusnya menjadi fondasi cerita terasa dangkal.
Masalah Teknis dan Ketidakkonsistenan Visual
Dari segi teknis, Narik Sukmo memiliki berbagai masalah yang mengganggu pengalaman menonton. Efek petir yang ditampilkan terlihat sangat tidak natural dengan pencahayaan yang tidak merata. Ketika adegan petir menyambar, efek cahayanya hanya muncul di bagian tertentu frame, sementara bagian lain tetap gelap, menciptakan kesan yang tidak realistis.
Ketidakkonsistenan juga terlihat dalam penggunaan properti dan kostum. Film ini menggunakan plat nomor kendaraan yang expired tahun 2013, namun karakter Kenara menggunakan smartphone seri terbaru yang ada di tahun 2020. Kostum yang digunakan terkesan dari era 1990-an, namun teknologi yang ditampilkan cukup modern. Ketidakkonsistenan ini menunjukkan kurangnya perhatian terhadap detail dalam produksi.
Scoring Musik yang Memekakkan Telinga
Salah satu aspek yang paling mengganggu dari Narik Sukmo adalah penggunaan scoring musik yang berlebihan dan memekakkan telinga. Setiap adegan tegang diperkuat dengan musik yang volume dan intensitasnya terlalu tinggi, seolah-olah mencoba menutupi kelemahan dalam membangun suspen secara natural. Alih-alih menciptakan atmosfer yang mencekam, musik justru membuat penonton merasa terganggu dan tidak nyaman.
Meskipun terdapat penggunaan musik tradisional Jawa seperti lagu Getuk yang sebenarnya memiliki nilai budaya, eksekusinya tidak seimbang dengan elemen modern dalam film. Hal ini menciptakan ketidakharmonisan yang mengganggu alur cerita dan emosi penonton.
Jumpscare yang Hampa dan Tidak Efektif
Sebagai film horor, Narik Sukmo sangat bergantung pada teknik jumpscare yang klise dan tidak efektif. Kejutan-kejutan yang disajikan terasa hampa karena tidak didukung oleh buildup yang kuat. Penonton sudah bisa memprediksi kapan jumpscare akan muncul, sehingga efek kagetnya tidak tercapai.
Adegan-adegan horor yang seharusnya menjadi klimaks justru terasa monoton karena hanya menampilkan Kenara yang berulang kali kerasukan dan menari tanpa variasi yang berarti. Tidak ada eskalasi ketegangan yang memadai, membuat film ini terasa stagnan dari awal hingga akhir.
Potensi Cerita yang Terbuang Sia-sia
Sebenarnya, Narik Sukmo memiliki potensi cerita yang menarik dengan latar belakang budaya Jawa dan tema dendam yang kompleks. Kisah tragis Banyu dan Ratimayu yang menjadi korban fitnah dan politik desa bisa dikembangkan menjadi narasi yang kuat tentang keadilan dan konsekuensi dari tindakan masa lalu.
Namun, potensi tersebut terbuang sia-sia karena eksekusi yang lemah dan kurangnya riset mendalam tentang budaya Jawa. Tarian Narik Sukmo yang seharusnya menjadi elemen central dalam cerita tidak dijelaskan secara detail, baik dari segi filosofi maupun teknik geraknya. Penonton hanya disuguhkan adegan tarian yang berulang tanpa pemahaman yang mendalam tentang makna dan kekuatan supernatural yang dikandungnya.
Kesimpulan: Film Horor yang Mengecewakan
Narik Sukmo adalah contoh bagaimana film horor Indonesia masih terjebak dalam formula lama yang mengandalkan jumpscare murahan tanpa memperhatikan kualitas cerita dan eksekusi. Meskipun memiliki tema yang menarik dan cast yang cukup terkenal, film ini gagal menghadirkan pengalaman horor yang memuaskan.
Kelemahan dalam plot, akting yang dipaksakan, masalah teknis yang mengganggu, dan ketidakkonsistenan dalam berbagai aspek produksi membuat film ini sulit untuk dinikmati. Bahkan bagi pecinta horor yang tidak terlalu demanding, Narik Sukmo kemungkinan besar akan mengecewakan karena tidak mampu menciptakan atmosfer yang benar-benar mencekam.
Film ini menunjukkan bahwa industri film horor Indonesia masih perlu belajar banyak dalam hal storytelling, riset budaya, dan eksekusi teknis. Alih-alih mengangkat kekayaan budaya Jawa, Narik Sukmo justru merendahkan nilai-nilai tradisional dengan penyajian yang tidak autentik dan tidak menghormati.
