Film horor religi terbaru Charles Gozali gagal mempertahankan intensitas dan fokus naratif yang membuat film pertama berhasil
Qodrat 2 kembali menghadirkan petualangan Ustad Qodrat dalam melawan kekuatan jahat, namun kali ini dengan fokus yang berbeda. Film garapan Charles Gozali ini mengambil sudut pandang yang lebih personal dengan mengeksplorasi trauma keluarga protagonis, khususnya karakter Azizah yang diperankan Acha Septriasa. Meskipun menawarkan beberapa momen yang kuat secara emosional, film ini justru kehilangan keseimbangan yang membuat pendahulunya berhasil.
Premis yang Menjanjikan dengan Eksekusi yang Terbagi
Qodrat 2 membuka dengan adegan yang tampak seperti penghormatan terhadap film horor klasik, menampilkan seorang perempuan yang berkompromi dengan iblis. Perempuan tersebut adalah Azizah, istri Ustad Qodrat, yang ternyata telah menjual dirinya kepada setan demi keselamatan putranya. Namun, seperti yang dapat diprediksi, iblis tidak menepati janji. Anak mereka tetap meninggal, suaminya ditangkap, dan Azizah tersisa sendirian dalam penderitaan dan dosa.
Film ini mengambil setting di sebuah pabrik tempat Azizah bekerja sebagai buruh. Pabrik tersebut menjadi panggung untuk praktik ritual setan yang meminta tumbal manusia. Qodrat harus menyelamatkan istrinya yang merasa terlalu kotor untuk dapat diselamatkan. Premis ini sebenarnya menarik karena mengeksplorasi tema penebusan dosa dan pertobatan dalam konteks horor religi.
Acha Septriasa sebagai Sorotan Utama
Performa Acha Septriasa sebagai Azizah menjadi kekuatan utama film ini. Aktris tersebut berhasil menampilkan konflik batin seorang perempuan yang merasa telah jatuh begitu dalam dalam dosa hingga tidak layak untuk bertobat. Adegan paling kuat dalam film ini adalah ketika Azizah mencoba melaksanakan sholat untuk bertobat, namun tidak mampu mengucapkan bacaan karena merasa terlalu rendah di hadapan Tuhan.
Septriasa berhasil membangun emosi dari keputusasaan hingga penyerahan total dengan sangat meyakinkan. Kamera pun menangkap momen ini dengan pendekatan yang sederhana namun efektif, tanpa trik berlebihan. Ini bukanlah adegan yang mudah untuk disampaikan secara emosional, karena risiko salah interpretasi dari penonton cukup besar.
Masalah Keseimbangan Naratif
Sayangnya, kekuatan karakter Azizah justru menjadi masalah bagi film secara keseluruhan. Qodrat sebagai protagonis utama menjadi terasa datar dibandingkan dengan perjalanan emosional istrinya. Jika di film pertama Qodrat memiliki konflik internal yang kuat, kini karakternya sudah "beres" dan menjadi ustad pembela kebenaran yang sempurna. Hal ini membuat fokus dramatis berpindah kepada Azizah, sementara film tetap bercerita dari perspektif Qodrat.
Pembagian fokus ini menciptakan ketidakseimbangan dalam penceritaan. Setiap pertempuran yang dilakukan Qodrat kini terasa lebih mengarah ke komedi daripada intensitas yang dirasakan di film pertama. Tone film menjadi tidak konsisten, dengan adegan dramatis Azizah yang terasa tidak pada tempatnya di tengah aksi pabrik yang lebih mirip throwback ke era Wiro Sableng.
Antagonis yang Kurang Mengesankan
Desain dan kehadiran antagonis menjadi kelemahan lain dalam film ini. Meskipun berusaha memberikan wujud ikonik untuk Assuala dan Zhadug, hasil akhirnya tidak memberikan ancaman yang memadai. Karakter-karakter antagonis dibentuk dengan cara yang terasa konyol, mirip penjahat di film anak-anak, sehingga tidak menciptakan rasa takut yang diharapkan.
Hal ini berbeda dengan film pertama yang memberikan duel epik antara Vino G. Bastian dan Marsha Timothy. Qodrat 2 membutuhkan "lawan yang sepadan" untuk protagonisnya, namun gagal menghadirkannya. Desain setan dan casting untuk karakter jahat perlu pendekatan yang lebih serius.
Isu Sosial yang Setengah Hati
Kasus tumbal di pabrik sebenarnya mencoba mengangkat isu kesetaraan dan hak perempuan dalam dunia kerja. Namun, pembahasan tema ini terasa dangkal dan tidak menyeluruh. Berbeda dengan kasus pesantren di film pertama yang digarap dengan lebih komprehensif, setting pabrik hanya terasa seperti episode singkat tanpa eksplorasi yang mendalam.
Ancaman horor yang berasal dari setting ini juga terdominasi oleh karakter antagonis yang tidak menakutkan. Meskipun terdapat kematian mengerikan, secara keseluruhan tidak terasa mengancam.
Masalah Struktur Universe
Aspek yang paling mengganggu adalah pendekatan universe yang dipaksakan. Film dibuka dengan highlight kejadian film pertama, yang merupakan cara paling malas untuk menyambungkan cerita. Selain membuang waktu yang bisa digunakan untuk pengembangan karakter, pendekatan ini membuat film terasa seperti episode serial televisi daripada karya sinema yang utuh.
Lebih buruk lagi, film ini juga menyisipkan momen penyambung untuk film berikutnya di bagian penutup. Kombinasi pembukaan yang awkward dan penutup yang terasa dipaksakan membuat Qodrat 2 kehilangan identitasnya sebagai film mandiri.
Potensi yang Terbuang
Qodrat 2 sebenarnya memiliki konsep yang kuat dengan mengambil perspektif yang lebih personal melalui karakter Azizah. Performa Acha Septriasa yang luar biasa dan beberapa momen visual yang memukau menunjukkan potensi besar film ini. Namun, ketidakseimbangan naratif, antagonis yang lemah, dan obsesi terhadap pembangunan universe menghalangi film ini mencapai potensi maksimalnya.
Momen-Momen yang Bersinar
Meskipun memiliki banyak kelemahan, film ini masih menyimpan beberapa momen yang mengesankan. Adegan truk yang terjun bebas dengan Qodrat di samping sopir yang kesurupan memberikan ketegangan yang nyata. Begitu juga dengan momen ketika Qodrat diminta sujud kepada iblis, yang menciptakan konflik spiritual yang kuat.
Sayangnya, momen-momen seperti ini menjadi lebih jarang dan kurang epik dibandingkan dengan film pertama. Kesan bahwa film ini lebih fokus pada pembangunan franchise daripada kualitas cerita individual semakin terasa.
Aspek Teknis yang Solid
Dari segi teknis, Qodrat 2 menunjukkan peningkatan dibandingkan film pertama. Sinematografi Charles Gozali lebih matang dengan penggunaan cahaya dan bayangan yang menciptakan atmosfer mencekam. Desain suara dan musik juga berhasil membangun ketegangan di momen-momen yang tepat.
Editing film ini juga lebih baik dengan transisi yang lebih halus dan pace yang lebih terkontrol. Meskipun ada beberapa adegan yang terasa terlalu panjang, secara keseluruhan film ini berhasil mempertahankan perhatian penonton.
Kesimpulan: Sekuel yang Ambisius namun Tidak Terfokus
Qodrat 2 adalah sekuel yang ambisius dengan ide-ide bagus, namun gagal dalam eksekusi. Obsesi terhadap pembangunan universe dan ketidakseimbangan fokus naratif membuat film ini kehilangan kekuatan yang dimiliki pendahulunya. Meskipun Acha Septriasa memberikan performa yang luar biasa dan beberapa aspek teknis menunjukkan peningkatan, film ini terasa seperti stepping stone menuju film ketiga daripada karya yang berdiri sendiri.
Charles Gozali dan timnya perlu kembali ke esensi yang membuat film pertama berhasil: fokus pada konflik internal protagonis dan keseimbangan antara elemen horor, aksi, dan spiritual. Qodrat 2 membuktikan bahwa memiliki konsep yang bagus tidak cukup tanpa eksekusi yang tepat dan visi yang jelas.
Bagi penggemar film pertama, Qodrat 2 mungkin akan mengecewakan karena tidak memenuhi ekspektasi yang telah dibangun. Namun, bagi mereka yang mencari hiburan horor religi dengan performa akting yang kuat, film ini masih layak untuk ditonton, meskipun dengan harapan yang disesuaikan.
