Film Horor Selepas Tahlil: Ketika Ambisi Horor Lokal Terhalang Eksekusi yang Lemah

Film Horor Selepas Tahlil: Ketika Ambisi Horor Lokal Terhalang Eksekusi yang Lemah
Foto tangkapan layar dari poster film Selepas Tahlil. (Credit: Instagram/@filmselepastahlil)

Film horor Indonesia terbaru berjudul Selepas Tahlil resmi tayang di bioskop pada 10 Juli 2025, menandai debut penyutradaraan Adriano Rudiman dalam film layar lebar. Meski diangkat dari kisah viral podcast Lentera Malam yang populer, film produksi BION Studios ini justru menghadirkan pengalaman menonton yang menyiksa telinga penonton dengan dialog yang tidak autentik dan eksekusi teknis yang bermasalah.

Adriano Rudiman, yang sebelumnya berkecimpung di dunia teknis film melalui karya-karya pendek seperti Walter the Dog (2019) dan Incloncusive (2019), serta menyutradarai serial Domikado (2022-2023), kali ini mencoba peruntungan dengan mengadaptasi cerita horor yang telah viral di podcast Lentera Malam episode dengan judul yang sama pada 2022. Namun, ambisi untuk menghadirkan horor lokal dengan nuansa Jawa Timur ini justru terkendala oleh berbagai kelemahan fundamental yang mengganggu pengalaman menonton.

 

Premis Cerita yang Menjanjikan Namun Eksekusi Mengecewakan

Selepas Tahlil mengisahkan dua bersaudara, Saras yang diperankan Aghniny Haque dan Yudhis yang dibawakan Bastian Steel, yang mengalami peristiwa supernatural mengerikan setelah kematian ayah mereka, Hadi (Epy Kusnandar). Cerita dimulai ketika jenazah sang ayah tiba-tiba menghilang dari rumah duka setelah prosesi tahlilan dan kemudian terlihat berjalan sendirian dari Surabaya menuju Lamongan.

Kejadian misterius ini membuka tabir rahasia keluarga yang telah tersimpan turun-temurun, mengungkap adanya perjanjian dengan dunia supernatural yang mengikat keluarga mereka. Konflik utama muncul ketika Saras bersikeras untuk memakamkan ayahnya di Surabaya, mengabaikan wasiat sang ayah yang ingin dikebumikan di kampung halamannya di Lamongan.

Sebagai karya debut, film berdurasi 96 menit ini memang menunjukkan beberapa aspek teknis yang cukup mumpuni. Alur cerita bergerak dengan tempo yang konsisten tanpa terasa terlalu lambat, sementara plot berhasil menggambarkan karakter utama dengan cukup jelas. Eksposisi hubungan Hadi dengan kedua anaknya disampaikan melalui dialog dan foto-foto yang terpampang di dinding rumah, menciptakan gambaran kedekatan keluarga meski tanpa menggunakan kilas balik.

 

Kekuatan Teknis yang Tidak Dapat Menutupi Kelemahan Dialog

Dari segi sinematografi, film ini menunjukkan kemampuan teknis yang cukup baik dengan pengambilan gambar dinamis dari berbagai sudut, scoring yang tepat tanpa berlebihan, dan transisi antar adegan yang mulus. Pencahayaan redup dengan dominasi warna dingin berhasil menciptakan atmosfer horor yang mencekam, sementara komposisi kamera yang tenang namun menekan memberikan efek psikologis yang diinginkan.

Namun, prestasi teknis ini tidak dapat menutupi kelemahan fatal dalam aspek dialog yang menggunakan bahasa campuran atau blender-an yang tidak autentik. Penggunaan logat Jawa yang tidak konsisten dan terkesan dipaksakan menjadi gangguan serius bagi penonton, terutama mengingat perbedaan kosakata antara dialek Jawa Tengah dan Jawa Timur yang tidak diperhatikan dengan seksama.

Masalah ini semakin menonjol ketika aktor seperti Epy Kusnandar, yang notabene berasal dari Jawa Barat, harus memainkan karakter dengan latar belakang Jawa Timur. Ketidaksesuaian ini menciptakan pengalaman menonton yang janggal dan mengurangi kredibilitas cerita yang seharusnya terasa autentik dengan latar budaya lokal.

 

Performa Akting yang Terbagi

Aghniny Haque kembali menunjukkan kemampuan akting yang solid dalam film ini, mengingatkan pada penampilannya yang memukau dalam Pemandi Jenazah. Kemampuannya memerankan karakter Saras yang skeptis namun perlahan terseret ke dalam krisis batin patut diapresiasi. Adegan kesurupan yang dibawakan Haque berhasil menciptakan ketegangan yang memikat dan mengerikan.

Bastian Steel sebagai Yudhis juga memberikan performa yang memadai, menunjukkan sisi emosional karakter anak muda yang berusaha memahami misteri keluarganya. Sementara itu, Epy Kusnandar mencoba keluar dari zona nyamannya dengan peran yang berbeda dari karakter-karakter sebelumnya, meski terkendala oleh masalah dialog yang telah disebutkan.

 

Elemen Horor yang Setengah Hati

Meski berhasil menciptakan beberapa momen jumpscare yang efektif melalui penampakan dari kegelapan, film ini masih terjebak dalam klise-klise film horor Indonesia yang sudah terlalu sering digunakan. Beberapa adegan terasa monoton dan dapat dengan mudah ditebak alurnya, mengurangi efek kejutan yang diharapkan.

Klimaks film ini juga dinilai kurang mengena dan tidak memberikan resolusi yang memuaskan. Meski berdasarkan kisah nyata yang seharusnya memberikan kekuatan tambahan pada narasi, adaptasi ke layar lebar justru membuat cerita terasa lebih rumit dan dipaksakan dibandingkan versi podcast aslinya yang lebih sederhana namun efektif.

 

Aspek Visual yang Bermasalah

Salah satu kelemahan teknis yang paling mencolok adalah kualitas visual yang tidak konsisten. Beberapa adegan terlalu gelap hingga sulit diikuti, sementara yang lain justru terlalu terang dengan dominasi warna oranye yang berlebihan, membuat gambar terlihat kurang tajam dan mengurangi kualitas sinematografi secara keseluruhan.

Efek khusus untuk penampakan sosok supernatural juga terasa tidak maksimal dan cenderung terlihat seadanya. Visualisasi entitas gaib seperti pocong dan sosok "Bapak" tidak cukup meyakinkan secara visual, sehingga mengurangi dampak ketegangan yang ingin dibangun.

 

Narasi yang Terpecah dan Kurang Fokus

Dari segi naratif, film ini mengalami beberapa plot hole yang cukup mengganggu dan membuat alur cerita terasa tidak utuh. Pengembangan cerita yang meluas ke berbagai arah tanpa fokus yang jelas membuat penonton kesulitan mengikuti misteri yang seharusnya menjadi daya tarik utama.

Beberapa subplot, termasuk konflik karakter pendukung, juga kurang tuntas dieksplor dan berakhir menggantung. Hal ini menciptakan kesan bahwa film ini terburu-buru dalam proses penyelesaian cerita, padahal tema keluarga dan rahasia masa lalu memiliki potensi untuk dikembangkan lebih dalam.

 

Potensi yang Tersia-sia

Selepas Tahlil sebenarnya memiliki premis yang menarik dengan menggabungkan elemen horor supernatural dan drama keluarga. Tema tentang kehilangan, penyesalan, dan rahasia yang terpendam dalam keluarga dapat menjadi kekuatan emosional yang mengena bagi penonton. Namun, potensi ini tidak dapat dimaksimalkan karena berbagai kelemahan teknis dan naratif yang mengganggu.

Film ini juga mencoba mengangkat nilai-nilai lokal Jawa Timur melalui latar belakang budaya dan tradisi tahlilan, namun eksekusi yang tidak autentik justru memberikan kesan eksotisasi yang dangkal daripada penghormatan terhadap budaya setempat.

 

Kesimpulan: Debut yang Mengecewakan

Sebagai karya debut sutradara Adriano Rudiman, Selepas Tahlil menunjukkan beberapa kemampuan teknis yang menjanjikan, namun gagal memberikan pengalaman menonton yang memuaskan secara keseluruhan. Kelemahan dalam dialog, inkonsistensi visual, dan narasi yang terpecah menjadi hambatan utama yang menghalangi film ini mencapai potensi penuhnya.

Meski memiliki beberapa momen efektif dalam menciptakan ketegangan dan didukung oleh performa akting yang solid dari Aghniny Haque, film ini tetap menjadi pengalaman yang menyiksa bagi penonton yang mengharapkan kualitas horor Indonesia yang lebih baik. Adaptasi dari podcast viral yang seharusnya menjadi kekuatan justru terasa dipaksakan dan kehilangan esensi yang membuat cerita aslinya menarik.

Bagi pencinta film horor Indonesia, Selepas Tahlil mungkin dapat menjadi tontonan alternatif, namun jangan berharap mendapatkan pengalaman menonton yang berkesan atau inovasi dalam genre horor lokal. Film ini lebih cocok sebagai pembelajaran bagi para sineas muda tentang pentingnya riset budaya yang mendalam dan konsistensi dalam eksekusi teknis. 

Ikuti AAD Today Online di GoogleNews

Berita Lainnya

Index