Jodoh 3 Bujang Menghadirkan Tawa dan Dilema Budaya, Namun Terjebak dalam Narasi yang Terlalu Aman

Jodoh 3 Bujang Menghadirkan Tawa dan Dilema Budaya, Namun Terjebak dalam Narasi yang Terlalu Aman
Foto poster film Jodoh 3 Bujang. (Credit: Starvision)

Film Jodoh 3 Bujang yang tayang sejak 26 Juni 2025 menandai kembalinya produksi Starvision dalam menggarap komedi romantis Indonesia. Mengutip dari kisah nyata yang populer mengenai pernikahan tiga saudara kembar di Makassar, film yang disutradarai oleh Arfan Sabran ini sukses menghadirkan humor yang menyegarkan sembari membahas masalah rumit seputar konflik antara tradisi dan modernitas di kalangan masyarakat Bugis-Makassar.

Premis yang Menarik dengan Eksekusi yang Terprediksi

Film ini mengikuti perjalanan Fadly (Jourdy Pranata), anak sulung dari tiga bersaudara yang diminta orangtuanya untuk melangsungkan pernikahan kembar karena keterbatasan biaya. Ketika calon istri Fadly, Nisa (Maizura), tiba-tiba dijodohkan dengan pria lain yang membawa uang panai 500 juta rupiah sepuluh kali lipat dari kemampuan Fadly protagonis terpaksa mencari pengganti dalam waktu singkat.

Premis ini sebenarnya kaya akan potensi konflik dan humor. Sayangnya, naskah yang ditulis Arfan Sabran bersama Erwin Wu dan Alwi Shihab terjebak dalam pola repetitif yang mengurangi momentum cerita. Fadly berkenalan dengan calon istri baru, merasa tidak cocok, pulang mendengar keluhan keluarga, lalu melarikan diri ke studio musik. Siklus ini berulang hingga menciptakan monotoni yang mengikis daya tarik naratif.

Kekuatan dalam Penokohan dan Chemistry Natural

Yang menjadi keunggulan utama film ini terletak pada penokohan yang solid dan chemistry natural antar pemain. Jourdy Pranata membawa pesona membumi yang membuat penonton mudah berempati dengan dilema Fadly. Meskipun sesekali masih terselip logat Jakarta dalam dialog berbahasa Indonesia, usaha para aktor dalam mengadaptasi nuansa Makassar patut diapresiasi.

Arswendy Bening Swara dan Cut Mini Theo tampil memukau sebagai pasangan orangtua yang keras kepala namun penuh kasih. Beberapa momen emosional mereka, terutama saat menumpahkan emosi melalui bentakan, berhasil menciptakan intensitas yang membuat penonton terdiam. Chemistry ini menjadi tulang punggung film yang menopang kelemahan struktural naratif.

Aisha Nurra Datau berperan sebagai Rifa, teman kuliah Fadly yang kemudian menjadi cinta sejatinya, menghadirkan sosok yang mudah dicintai. Namun, kedatangannya yang terlalu telat dalam narasi baru benar-benar berkembang di paruh kedua membuat hubungan romantis mereka terasa kurang matang dan tidak cukup meyakinkan.

Representasi Budaya yang Autentik namun Dangkal

Film ini layak mendapatkan pengakuan karena menyajikan gambaran budaya Bugis-Makassar yang jarang terlihat dalam film-film arus utama di Indonesia. Penggambaran tradisi uang panai, dinamika keluarga, dan nilai-nilai kekeluargaan ditampilkan dengan detail yang informatif dan menghibur.

Namun, eksplorasi budaya ini hanya sampai pada level permukaan. Film tidak cukup berani menggali lebih dalam tentang akar masalah yang sesungguhnya terjadi ketika tradisi berbenturan dengan realitas ekonomi dan aspirasi individual anak muda masa kini. Konflik yang seharusnya bisa menjadi kekuatan dramatis malah diselesaikan dengan cara yang terlalu mudah dan tidak menantang status quo.

Komedi yang Efektif dengan Timing yang Tepat

Dari segi komedi, Jodoh 3 Bujang berhasil menghadirkan humor yang tidak menggurui dan terasa alami. Dialog-dialog kocak dan situasi absurd dalam pencarian jodoh Fadly mulai dari menggunakan aplikasi kencan hingga perjodohan dadakan menghadirkan gelak tawa yang genuine dari penonton.

Kekuatan komedi ini terutama bersumber dari kemampuan para pemain dalam menangani timing dan delivery yang tepat. Meskipun beberapa gag terasa dipaksakan, sebagian besar humor berhasil mengalir secara organik dari situasi dan karakter yang telah dibangun.

Kritik Terhadap Penyelesaian Konflik yang Terlalu Aman

Kelemahan paling mencolok dari film ini adalah kecenderungan untuk bermain terlalu aman dalam menyelesaikan konflik utama. Film ini gagal mengakui kesalahan fundamental dari sikap Mustafa (Arswendy Bening Swara) yang memaksakan kehendaknya tanpa mempertimbangkan perasaan dan aspirasi anak-anaknya.

Justifikasi bahwa "semua dilakukan karena orangtua mencintai anak" menjadi klise yang berulang dalam film-film Indonesia. Padahal, kesempatan untuk mengeksplorasi kompleksitas hubungan orangtua-anak dalam konteks perubahan zaman sangat terbuka lebar. Film ini luput memahami bahwa anak juga berhak menentukan bentuk kebahagiaan yang mereka inginkan.

Karakter Mustafa khususnya tidak menunjukkan penyesalan atau refleksi atas tindakannya hingga akhir film. Bahkan ketika Fadly sempat menerima perjodohan, sang ayah justru tampak puas, tanpa mempertanyakan apakah anaknya benar-benar bahagia dengan keputusan tersebut.

Potensi yang Tidak Terealisasi Maksimal

Jodoh 3 Bujang sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi film yang tidak hanya menghibur, tetapi juga membuka diskusi mendalam tentang evolusi nilai-nilai dalam masyarakat tradisional Indonesia. Tema tentang tekanan sosial, ekspektasi keluarga, dan hak individu dalam menentukan pasangan hidup sangat relevan dengan realitas yang dihadapi generasi muda Indonesia saat ini.

Sayangnya, film ini memilih jalan yang lebih aman dengan menghindari konfrontasi langsung terhadap nilai-nilai yang bermasalah. Alih-alih menghadirkan solusi yang menantang atau perspektif yang lebih progresif, film berakhir dengan kompromi yang terasa dipaksakan dan tidak menyelesaikan akar permasalahan.

Aspek Teknis dan Produksi

Dari segi teknis, film ini menunjukkan standar produksi yang solid. Cinematografi berhasil menangkap nuansa Makassar dengan cukup baik, meskipun tidak terlalu eksploratif dalam memanfaatkan keindahan visual kota tersebut. Editing cukup rapi dalam mengelola ritme komedi, meskipun terkadang terasa tergesa-gesa dalam transisi antar scene.

Desain produksi berhasil menciptakan atmosfer keluarga Bugis yang autentik, mulai dari setting rumah hingga kostum yang digunakan para pemain. Musik scoring mendukung mood film dengan baik, meskipun tidak memberikan kesan yang terlalu memorable.

Refleksi Terhadap Industri Film Indonesia

Jodoh 3 Bujang mencerminkan kecenderungan umum film komedi romantis Indonesia yang masih enggan mengambil risiko dalam mengeksplorasi isu-isu sosial yang sensitif. Meskipun berhasil menghadirkan hiburan yang berkualitas, film ini melewatkan kesempatan emas untuk menjadi karya yang lebih bermakna dan menantang.

Dalam konteks industri perfilman Indonesia yang sedang berusaha menemukan identitasnya di kancah regional dan global, film seperti ini menunjukkan kemampuan teknis dan kreatif yang mumpuni. Namun, keberanian untuk menghadirkan narasi yang lebih berani dan progresif masih menjadi tantangan yang perlu diatasi.

Kesimpulan

Jodoh 3 Bujang merupakan sebuah film yang kuat dalam menyajikan hiburan dengan pengemasan budaya setempat yang mengesankan. Penokohan yang kuat, chemistry antar pemain yang natural, dan komedi yang efektif menjadikannya tontonan yang menyenangkan untuk keluarga Indonesia.

Namun, film ini gagal memanfaatkan potensi maksimalnya dalam mengeksplorasi konflik yang sesungguhnya terjadi ketika tradisi berbenturan dengan aspirasi individual. Penyelesaian yang terlalu aman dan enggan mengkritisi nilai-nilai yang bermasalah membuat film ini terasa seperti kesempatan yang terbuang.

Bagi penonton yang mencari hiburan ringan dengan nuansa budaya lokal, Jodoh 3 Bujang cukup memenuhi ekspektasi. Namun, bagi mereka yang mengharapkan eksplorasi yang lebih mendalam tentang dinamika sosial kontemporer Indonesia, film ini mungkin akan terasa kurang memuaskan. 

Ikuti AAD Today Online di GoogleNews

Berita Lainnya

Index